Jumat, 11 Juli 2008

Resistensi Sastra terhadap Kekuasaan

Heru Kurniawan

Kekuasaan adalah sebuah konsep yang abstrak, tetapi sangat berpengaruh terhadap kehidupan. Kekuasaan telah menciptakan kekuatan yang mengendalikan perilaku dan pemikiran kita. Kekuasaan adalah milik kelompok atas yang terus melakukan mobilisasi pandangan, ideologi, dan pengaruh kepada kelompok bawah agar tetap terdefinisikan, terbentuk, terkontrol, dan terdisiplinkan perilakunya untuk kepentingan kekuasaan.
Dalam melakukan mobilisasi pengaruh ini, strategi yang bisa diambil, salah satunya mengembangkan wacana yang dikonstruksi untuk kepentingannya dengan menciptakan kepemimpinan moral-intelektual. Dalam istilahnya Gramsci, model ini akan menciptakan hegemoni, di mana tanpa disadari masyarakat menjadi terdisiplinkan pikiran dan perilakunya terhadap konsep yang diinginkan penguasa. Jika hal ini dibiarkan maka kekuasaan akan mengendalikan “kebenaran” pengetahun dan pandangan masyarakat sebagai common sense yang arahnya melegitimasi kekuasaan.
Imbasnya, kekuasaan yang terlalu lama mempunyai potensi besar untuk korup. Kita bisa belajar dari Pemerintahan Orde Baru yang selama hampir 35 tahun telah efektif mengendalikan wacana (hegemonik) di setiap sudut kehidupan; agama, pendidikan, dan budaya sehingga kebenaran tunggal terdefinisikan atas kepentingannya. Maka, kekuasaan dengan segala kekorupannya terpelihara dengan rapi. Hal ini menunjukkan dominasi wacana kelompok berkuasa bukanlah berarti tanpa kepentingan.
Oleh karena itu, idealnya untuk menjaga harmoni “pertarungan ideologis”, maka keberadaan wacana dominan haruslah ditandingi dengan keberadaan wacana alternatif, yaitu menghadirkan wacana yang termarjinalkan oleh wacana dominan secara proporsional. Tujuannya agar masyarakat tidak terseragamkan sehingga pendewasaan dan penghargaan terhadap “perbedaan” tetap terapresiasi.
Persoalannya, bukanlah hal mudah untuk melakukan itu karena wacana alternatif masih dipersepsi sebagai hal yang “menyimpang” bahkan “salah” karena tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat banyak. Padahal, wacana alternatif sebenarnya bukanlah wacana yang “salah” atau “benar”, tetapi wacana terpinggirkan yang keberadaannya dihilangkan kekuasaan. Di sinilah, perlunya sebuah media yang berani untuk menyuarakan wacana alternatif yang gerakannya ramah, tetapi efektif untuk membentuk persepsi masyarakat dalam memandang dunia.
Dalam hal ini, saya melihat sastra menjadi dunia yang representatif untuk melakukan itu sebagai bentuk resistensi terhadap wacana dominan yang telah terkooptasi oleh kekuasaan. Dengan wacana alterlnatif ini maka persepsi masyarakat bisa kritis dalam memandang dunia, tidak taken for granted. Pertanyaannya adalah apakah sastra kita sudah merepresentasikan wacana pemikiran alternatif dalam melawan kekuasaan? Resistensi apa yang dilakukan sastra terhadap kekuasaan?

Bentuk Resistensi Sastra terhadap Kekuasaan
Pada hemat saya, wacana sastra Indonesia modern sejak kemunculannya pada tahun 20-an, sudah lahir dengan resistensi atas kekuasaan dominasi dan kultural. Hal ini terjadi karena sastra hakikatnya merupakan cara berpikir yang intransitif dan destruktif dalam memersepsi dunia. Sastra selalu ingin membangun wacana yang lain dari wacana-wacana yang sudah terpola dan terkuasai oleh kepentingan kekuasaan di masyarakat. Hanya persoalannya, tetap saja wacana alternatif dalam sastra dikendalikan oleh kekuasaan (pemerintah) di luarnya sehingga wacana-wacana perlawanannya hanya berarah pada apa yang luput dari kekuasaan (pemerintahan).
Bentuk perlawanan sastra ini dapatlah disebutkan; pertama, resistensi sastra terhadap kekuasaan pemerintah. Dalam hal ini puisi-puisi Muhammad Yamin (MY) dalam Tanah Air (1922) dapat disebut sebagai sastra yang menyuarakan wacana alternatif “nasionalisme” yang pada masa pemerintahan kolonial menjadi dipersoalkan karena semangat nasionalisme bisa meruntuhkan dominasi kekuasaannya. MY mengangkat wacana alternatif sebagai representasi atas ideologinya untuk melawan kekuasaan. MY menyajikan wacana tentang kepatuhan sesungguhnya dari sebagai warga negara adalah pada “tanah air”nya, bukan pada orang asing yang nyata telah menjajah, seperti yang saat itu terjadi. Maka, semangat perjuangan “melawan” harus didasarkan pada tanah air, bukan pada kepentingan atau kelompok-kelompok tertentu. Semangat nasionalisme sajak-sajak MY ini akhirnya menjadi salah satu wacana yang mengarahkan pemikiran pemuda Indonesia untuk mendeklarasikan “Sumpah Pemuda” tahun 1928. Di sini saya mengatakan bahwa MY telah berhasil memobilisasi wacana alternatif sebagai bentuk resistensinya terhadap kekuasaan kolonial.
Semangat perlawanan terhadap kekuasaan pada pemerintahan Jepang dan masa perang tahun 1945 jelas juga tergambarkan dalam sajak-sajak Chairil Anwar, misalnya dalam buku puisi Deru Campur Debu dan Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus (1951). Dengan gaya puisi yang ekspresionis dan realis, sajak Chairil Anwar menyuarakan perjuangan, misalnya dalam sajak “Diponegoro” dan “Karawang Bekasi” yang mampu menanamkan gelora semangat untuk berperang melawan kekuasaan penjajah.
Sementara itu, resistensi sastra terhadap kekuasaan pada masa Orde Lama dan Orde Baru, intens disuarakan oleh Taufik Ismail lewat puisi-puisinya dalam Benteng dan Tirani dan W.S. Rendra dalam Potret Pembangunan dalam Puisi yang menyuarakan wacana protes terhadap kekuasaan pada masa itu. Sampai-sampai intimidasi dan pencekalan atas nama kekuasaan pun terjadi pada W.S. Rendra karena karya-karyanya dan pementasannya dianggap “makar” dan menyuarakan hal-hal yang tidak sejalan dengan kekuasaan. Di akhir kekuasaan Orde Baru, wacana alternatif sastra yang resisten terhadap kekuasaan sangat ramai, puncaknya adalah kemunculan novel Saman karya Ayu Utami yang nyata memobiliasasi tokoh-tokoh pergerakan yang anti-Orde Baru. Kekuasaan Orde Baru dalam novel Saman dipersepsi sebagai “biang” dari segala disharmoni dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, resistensi sastra terhadap kekuasaan kultural. Suara-suara resistensi sastra terhadap kekuasaan kultural juga sudah terdengar dari novel-novel masa kolonial yang banyak menyuarakan; pertentangan kaum muda dengan kaum tua; kawin paksa; kebebasan dan kebangsaan; arah berkebudayaan; dan cita-cita membangun masyarakat yang harmoni –-ini dilahirkan oleh aliran seni bertendens yang disuarakan oleh Sutan Takdir Alisjahbana (STA), misalnya--. Pada masa angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru wacana perlawanan terhadap kultural subur karena pada saat itu pemerintah kolonial lewat Balai Pustaka menyeleksi karya-karya sastra dengan berpedoman pada nota rinkes, yaitu karya sastra harus mendidik, tidak bertentangan dengan politik pemerintahan, dan netral dari agama. Akibatnya, pada masa ini sastra muncul dengan wacana yang hanya resisten terhadap persoalan kulutural, tetapi minim terhadap perlawanan pada kekuasaan.
Ketiga, resistensi sastra terhadap kekuasaan patriakhi. Pada persoalan ini saya merasa prihatin karena sastra yang menyuarakan perlawanan yang anti-patriarkhi hanya menjadi milik kaum perempuan. Sementara kenyataannya dunia sastra Indonesia didominasi oleh laki-laki sehingga sastra sebagai wacana yang melawan kekuasaan patriakhi tak banyak bicara. Misalnya, sekalipun lewat Layar Terkembang, STA sudah bersuara tentang feminisme, tetap saja STA berpihak dan memenangkan persepsi laki-laki yang dianggap lebih memilih perempuan berbakti daripada yang pintar dan berkarier.
Sampai saat ini, wacana resistensi sastra terhadap kekuasaan patriakhi terkotak pada dikotomisasi yang stereotype, di mana penulis laki-laki dipersepsi tidak mungkin karyanya mempunyai sensitivitas gender karena sensitivias gender hanya dipunyai perempuan. Akibatnya, penelitian dan kritik sastra tentang feminisme dalam sastra selalu objeknya karya sastra yang ditulis perempuan. Padahal, persoalan gender muncul karena adanya kekuasaan laki-laki yang --disadari atau tidak-- ingin selalu membangun superioritasnya atas perempuan.
Oleh karenanya, yang perlu disadarkan terhadap persoalan ini adalah laki-laki, maka kritik dan penelitian harusnya dilakukan dengan berpusat pada praktik-praktik kekuasaan dari karya penulis laki-laki dalam posisinya sebagai “agen laten” patriarkhi, sekalipun tidak seutuhnya bisa menjadi total menempatkan posisi perempuan dengan semestinya dalam sastra, tetapi penulis laki-laki mempunyai semangat, kesadaran, dan pandangan dunia yang asimetris dalam memersepsi perempuan. Sehingga sekalipun sastra ditulis oleh laki-laki, tetapi di dalamnya bisa memunculkan wacana alternatif atas kekuasaan patriarkhi.
Pada persoalan feminisme inilah saya melihat sastra kita masih belum berdaya mewacanakan pemikiran alternatifnya dalam melawan kekuasaan patriarkhi. Karya sastra yang ditulis laki-laki masih tetap melegitimasi kepentingannya untuk menjaga kekuasaannya.

Tidak ada komentar: