Jumat, 11 Juli 2008

Aku Maknai Laut-Mu, Abdul Hadi WM

Heru Kurniawan


Yang menarik dari perpuisian Abdul Hadi WM dari tahun 1967 - 1983 adalah banyaknya imaji dan suasana laut, seperti angin, pantai, gelombang, nelayan, buih, laut, jangkar, perahu, dan matahari yang menjadi latar. Bahkan dari buku-buku puisinya, laut menjadi identitas judulnya, antara lain Laut Belum Pasang (1967), Tergantung pada Angin, Anak Angin Anak Laut, Potret Pengunjung Pantai Sanur. Ini menandakan bahwa imaji dan suasana laut mendapat tempat khusus dalam puisi-puisi Abdul Hadi WM. Sehingga Imaji laut dalam puisi-puisi Abdul Hadi WM merepresentasikan pandangan dunia (world view)-nya, yaitu perasaan-perasaaan, ideologi, dan sudut pandang penyair terhadap kehidupan yang dijalaninya.
Interpretasi terhadap suasana dan imaji laut dalam puisi Abdul Hadi WM berarti mengungkap dan meretas pandangan dunianya. Dalam hal ini Ricouer mengatakan bahwa penyair adalah individu yang bebas sehingga ujaran penyair dibebaskan dari visi dunia karena penyair membuat dirinya sendiri bebas untuk ada, dan baru kemudian dia bawa visi dunianya ke pengalaman ekspresif bahasa. Dengan demikian, estetisme bahasa puisi merepresentasikan pemikiran penyairnya. Lewat bentukan-bentukan imaji yang khas, puisi mengekspresikan pengalaman dan pandangan dunia yang berbeda antara yang satu penyair dengan yang lain.
Saya memberi contoh, misalnya pada perpuisian Abdul Hadi WM dengan D. Zawawi Imron yang kuat memberdayakan imaji laut dalam puisi-puisinya. Secara tradisi, keduanya mempunyai kesamaan yang menyangkut kultur Madura, letak geografis, dan pemahaman pada Islam yang kuat. Akan tetapi, sentuhan filosofi, pandangan dunia, dan pengalaman yang berbeda menjadikan imaji laut yang dihadirkan mempunyai rasa dan makna berbeda. Dalam puisi D. Zawawi Imron laut adalah kehidupan yang selalu dikaji, digeluti, dan ditaklukan. Sedangkan dalam puisi-puisi Abdul Hadi WM, laut adalah suasana untuk dinikmati dan renungi secara terbuka.
Di sini terlihat bahwa kepribadian makna bahasa merupakan cermin dari pengalaman penyairnya dalam memersepsi realitas. Inilah yang menyebabkan puisi sebagai wacana selalu bercerita dengan cara yang unik dan khas sesuai dengan style dan ideologi penyairnya. Dan laut bagi Abdul Hadi WM adalah fenomena yang telah dipersepsi sebagai sarana untuk melukiskan pengalamannya. Laut dipilih, diolah, dipadukan, dan disentuh dengan ekspresivitasnya sehingga imaji laut mampu menyuarakan kegelisahan dan pengalaman hidupnya. Laut hidup menyuarakan filosofisnya.

Laut sebagai Medan Perjuangan
Dalam perspuisian Abdul Hadi WM, imaji laut dipandang sebagai arena bagi seseorang (nelayan) dalam bergelut dengan dunia sekaligus akhirat. Laut merupakan medan negosiasi antara makrokosmos dan mikrokosmos, di mana kehidupan ideal terjadi dari pertautan antara keduanya yang mesra. Model ini selaras dengan ajaran dasar agama tentang harmonisasi antara dunia-akhirat. Dalam terminologi Islam dikatakan bahwa, “Bekerjalah seakan-akan engkau akan hidup selamanya dan beribadahlah seakan-akan engkau akan mati besok”. Artinya, kerja keras (ikhtiar) untuk dunia dan sungguh-sungguh (khusyu) untuk akhirat. Kedua hal ini terkonseptualisasikan dalam analogi perjuangan nelayan yang bekerja keras untuk menyatukan dua dimensi; kerja keras dan khusyu, dunia dan akhirat, materi dan spiritual, perilaku dan jiwa, lahir dan bathin. Konsep ini terbaca dalam nukilan sajak berikut ini.
Prelude
III
Dua nelayan Madura terjun ke sampannya
Angin tak menyuruh mereka, dingin yang baja
Seperti kata nenek moyangnya, mereka lepaskan mantera
Seperti kata nenek moyangnya, engkau hanya menawarkan angin utara

Terjun ke sampan adalah usaha (dunia), sedangkan lepaskan mantera (spiritual). Dan kesadaran terhadap dua dimensi itu dianggapnya sebagai naluri dasar yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyangnya. Dengan demikian, manusia dipersepsi sebagai homo religius yang mendapatkan pengalaman spiritualnya sejak dilahirkan dan kemudian dikokohkan lewat sesuatu yang diajarkan alam atau nenek moyangnya. Dalam hal ini, Karen Amstrong dalam “History of God” mengatakan bahwa manusia adalah mahluk yang sejak diciptakan telah membawa keyakinan terhadap yang sakral (Tuhan) yang tidak bisa dingkari dan dinafikan. Adapun yang membawa manusia untuk mengkoseptualisasikan keyakinannya itu adalah keimanan yang lahir dan dibentuk dari ajaran-ajaran yang diyakini. Keimanan berarti hasil pembentukan dari diri dan lingkungan (nenek moyang) yang mengarahkannya.
Imaji laut dalam perpuisian Abdul Hadi WM menginsafi keadaan fitrah manusia, di mana nelayan sebagai prototype-nya menjadi gambaran universal dari keberadaan manusia. Laut telah mengungkapan makna filosofisnya yang indah, yaitu sebagai gambaran medan yang ideal dalam menyatukan dua dimensi yang dapat menyempunakan kehidupan manusia. Oleh karenanya Abdul Hadi WM dalam puisinya Malam Laut berbicara bahwa; /di pantai engkau mencari pasir penuh bulan//di pantai engkau mencari senja yang menyatu dengan dumi//. Artinya, pantai adalah berkah untuk bumi (dunia) dan kebahagian untuk kehidupan yang tinggi (bulan). Pantai akan mampu menyatukan senja dengan bumi (dunia dan akhirat). Sungguh indah.

Laut dalam Spiritualitas dan Simbol
Laut yang dipersepsi sebagai model yang mampu menyatukan bumi dan langit menandakan bahwa laut mempunyai spiritualitas, yaitu ruh istimewa yang mencerahkan kehidupan. Laut dioptimalisasi oleh penyairnya menjadi dimensi yang agung. Tentu satu-satunya kekuatan agung yang mampu menyatukan dua dimensi kehidupan dunia-akhirat adalah penciptanya: Tuhan. Laut adalah aktualisasi Tuhan yang telah melahirkan pantai, ombak, angin, nelayan, dan buih sebagai isyarat yang penanda kebesarannya.
Dalam tradisi Islam, aktualisasi Tuhan lewat laut telah diungkapkan dalam Hadis dan al-Qur’an. Misalnya, (1) tentang permisalan kebesaran Tuhan-mu itu seperti lautan, sedangkan apa yang kau miliki hanya sebatas buih; (2) pengetahuan yang dimiliki Tuhan-mu itu seperti lautan, maka kau tidak akan habis menimbanya. Yang tersirat dari dua hal ini adalah mengenai kebesaran Tuhan yang Maha Tidak Terbatas, sedangkan manusia terbatas. Tradisi aktualisasi Tuhan lewat laut kemudian banyak dibicarakan dalam aliran tasawuf yang intens menggarap seni (puisi) sebagai media untuk “pertemuan suci” antara hamba dengan Tuhannya. Lewat tradisi tasawuf ini pemaknaan laut sebagai aktualisasi Tuhan hidup dan terus berkembang sampai saat ini. Dan apa yang disuarakan Abdul Hadi WM menurut saya adalah penerusan dari tradisi ini, laut adalah aktualisasi dari kebesaran Tuhan. Maka laut yang telah menciptakan kehidupan menjadi ayat yang tepat untuk menjalani kehidupan yang ideal, yaitu harmonisasi dunia-akhirat.
Menurut Doni Koesoema (2007) dalam tradisi Yahudi, laut adalah metafor alam yang dianggap selaras dengan karakter, yaitu sesuatu yang bebas lepas dan tidak bisa dikuasai oleh manusia, misalnya ganasnya gelombang dan angin yang menyertainya. Tradisi Yahudi memahami lautan sebagai karakter yang tidak terselami dan tidak dapat dirintervensi manusia. Oleh karena itu, berhadapan dengan laut yang berkarakter manusia tidak dapat ikut campur tangan. Manusia tidak dapat memberi bentuk atasnya karena manusia terbatas, sedang laut tidak terbatas. Oleh karena itu, tradisi Yahudi Klasik ini mengindikasikan laut sebagai permisalan Tuhan yang mutlak dan Maha.
Tentang kemutlakan dan kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas ini Abdul Hadi WM mengisyaratkannya dalam puisi Laut Luas://Kau memandang ke laut luas, kehijauan yang lenyap dalam/ gelombang//Jendela yang membawa kita dan langit setengah mengambang/mungkin di alun itu seseorang meletakan pandangan/dan kosong kita mencarinya karena dinding tak mau karam. Laut luas sebagai suasana dalam puisi ini mengindikasikan laut sebagai media pertemuan antara hamba dan Tuhannya yang selalu tersekat karena ada dinding yang tak mau karam.
Dengan demikian, melihat makna laut yang berangkat dari mitos dan agama yang tidak berkorelasi dengan laut sebagai semantik, maka laut dalam puisi-puisi Abdul Hadi WM dalam perspektif hermeneutika dapat disebut sebagai simbol. Simbol menurut Ricouer adalah sistem ujaran (bahasa) yang mengabungkan dua dimensi atau dua semesta wacana, yaitu satu tatanan lingusitik dan tatanan nonlinguistik. Simbol linguistik dibuktikan oleh fakta bahwa simbol dibangun oleh semantik simbol, yaitu teori yang menjelaskan struktur simbol berdasarkan makna signifikansi. Dimensi nonlingusitik hanya bisa dijelaskan oleh lingusitik yang mungkin berasal dari mitos, tradisi, ataupun agama. Di sini terlihat, bahwa laut sebagai simbol mempunyai persoalan yang kompleks.
Pada tataran semantik dapat dimaknai bahwa laut adalah cekungan luas dari bumi yang berisi air. Makna semantik ini tidak dapat menjawab persoalan simbol laut yang dalam puisi-puisi Abdul Hadi WM bermakna aktualisasi Tuhan karena tidak ada hubungan yang sinkron antara “cekungan luas dari bumi yang berisi air” dengan “Tuhan”. Oleh karenanya, makna simbol laut kemudian mengarah ke dimensi nonsemnatiknya, yaitu mitos, tradisi, dan kultur. Dalam hal ini, mengacu pada tradisi Islam dan Yahudi, laut sebagai simbol baru teridentifikasikan maknanya. Dan menurut saya, simbolisasi laut sebagai aktualisasi Tuhan adalah pemberdayaan aspek estetis yang indah karena Tuhan sendiri hakikatnya simbol yang mewujud dalam seluruh dimensi kehidupan yang berserak di alam semesta. Amstrong mengatakan bahwa Tuhan bukanlah sebuah realitas, Tuhan adalah inti realitas. Oleh karena itu, yang membangun hakikat setiap elemen kehidupan adalah Tuhan, termasuk laut di dalamnya seperti yang dipuisikan Abdul Hadi WM.
Akan tetapi, cara penghayatan Abdul Hadi WM yang intens dan langsung bersentuhan dengan laut (menelaah kultur kehidupan Maduranya) menjadikan simbol laut sebagai aktualisasi Tuhan memiliki cara pandang yang khas, yaitu sebagai pelaku Abdul Hadi WM dalam puisi-puisinya tidak menggurui dan tidak memaksakan orang (pembaca) untuk masuk dalam dunia puisinya. Laut yang dikonseptualisasikan adalah suasana yang perlu dirasakan dan dimaknai. Maka pengungkapan makna filosofinya tidaklah memaksa dan mendoktrin. Cukup nikmati saja puisinya nanti kita akan menemukan ruang kosong yang terbuka, kita mau mengisinya atau tidak terserah. Tapi kita pasti merasakan suasananya bahwa Tuhan seakan-akan hadir di dalamnya.

Tidak ada komentar: