Jumat, 11 Juli 2008

Aliran "Sesat" dan Pluralitas dalam al-Qur'an

Heru Kurniawan


Munculnya berbagai aliran dalam Islam --dan agama-agama lain yang sudah terjadi sejak dulu sampai sekarang-- disebabkan oleh persoalan interpretasi terhadap kitab suci. Munculnya pluralitas interpretasi ini disebabkan oleh; pertama, karena persoalan bahasa. Kenyataannya bahasa --sebagai media penyampai ajaran agama-- adalah produk budaya manusia itu yang bersifat terbatas. Artinya, bahasa dalam teks tidak merepresentasikan seluruh pikiran dan perasaan seseorang. Apa yang diungkapkan teks lewat bahasa tidak dapat mencerminkan totalitas pengalaman manusia.
Dalam konteks kitab suci al-Qur’an juga menunjukkan bahwa bahasa sebagai media penyampai kebesaran Tuhan tidak dapat merepresentasikan kebesaran Tuhan yang sebenarnya. Tuhan lebih Maha dari apa yang dibahasakan oleh al-Qur’an. Oleh karenanya, muncul ayat kauliyah dan kauniyah sebagai representasi ke-Mahaan Tuhan. Artinya, ke-Mahaan Tuhan itu terbaca dari yang tertulis (al-Qur’an) dan yang tidak tertulis (alam semesta). Oleh karena keterbatasan bahasa ini, maka bahasa al-Qur’an banyak menggunakan bahasa sastra (tamsil) yang menurut Julia Kristeva adalah satu-satunya bahasa yang kode-kodenya tidak terbatas, --berusaha mendekati ketidakterbatasan ke-Maha-an Tuhan--. Potensi maknanya selalu tidak terbatas, terbuka, dan bertingkat. Sehingga interpretasi terhadap al-Qur’an haruslah dilakukan oleh orang-orang yang “berpikir” atau ahli ulama karena pemaknaan terhadap al-Qur’an tidak bisa hanya memperhatikan teks –-bahasa—secara otonom, konteks sosial dan historis menjadi hal penting yang wajib dijadikan landasan filosofisnya.
Kedua, persoalan pengalaman penafsirnya. Dalam hal ini, al-Qur’an sebagai teks teologis –-karena bahasa menjadi penyampai perintah, larangan, dan cerita agama— maknanya sangat tergantung pada penafsirnya. Oleh karena itu, pengalaman penafsir yang di antaranya meliputi; pandangan hidup, ilmu, ideologi, politik, situasi, kepentingan, dan historis-kulturalnya menjadi hal utama dalam menentukan hasil interpretasinya. Misalnya, apabila interpretasi terhadap al-Qur’an dilakukan oleh orang-orang yang moderat dalam pandangan hidup, ilmu, ideologi, dan kepentingannya, maka saya yakin hasil interpretasinya menghasilkan ajaran-ajaran yang moderat, dan muncullah aliran-aliran Islam yang dicitrakan masyarakat bersifat moderat. Sebaliknya, jika interpretasi dilakukan oleh orang-orang yang radikal dalam pandangan hidup, ilmu, ideologi, dan kepetingannya, maka hasil ajaran-ajarannya pasti radikal, dan muncullah aliran-aliran dalam Islam yang dicitrakan masyarakat bersifat radikal.
Dengan melihat dua aspek di atas, maka perbedaan interpretasi terhadap teks, termasuk al-Qur’an adalah hal yang kodrati, tidak bisa dihindari karena al-Qur’an bermediakan bahasa dan pengalaman para penafsir selalu tidaklah sama. Islam sendiri sudah menegaskan hal ini dalam Hadis bahwa Islam akan pecah menjadi 73 golongan. Keterpecahan ini disebabkan oleh persoalan pluralitas interpretasi. Oleh karena itu, jika keragaman aliran dalam agama dipahami sebagai kodrat dari pluralitas interpretasi yang tidak bisa dihindari, maka kerukunan antarumat beragama akan terwujud. Karena penghakiman terhadap kepercayaan, agama, dan aliran orang lain dengan berdasarkan pada keyakinannya sendiri tidak akan terjadi. Yang muncul justru sikap penghargaan terhadap pluralitas karena yang namanya kodrat jelas tidak bisa diubah, sudah sunnatullah, sama seperti munculnya pluralisme ras. Jika setiap satu ras memaksakan ras lain untuk masuk dalam identitasnya jika ingin dianggap “benar” maka jelas yang terjadi adalah chaos. Islam sendiri menekankan bahwa keberanekaragaman itu indah, jika disertai dengan sikap saling menghargai dan menghormati. Inilah indikasi multikulturaslime sudah menjadi nafas Islam.

Interpretasi untuk Kepentingan Praktis
Dari kodratnya interpretasi, hal yang perlu diwaspadai adalah munculnya kepentingan praktis orang yang memanfaatkan persoalan keyakinan beragama. Agama sebagai dasar kemanusiaan manusia yang paling dasar diperalat demi kepentingan pribadinya. Lihat misalnya kasus NII KW 9, di mana untuk kepentingan mendirikan negara Islam Indonesia aliran ini memanfaatkan Islam. Interpretasi pun diarahkan pada hal yang sebenarnya bertentangan dengan Islam, misalnya menghalalkan segala cara dalam berdakwah demi untuk mendapatkan dana. Dan sekarang kasus yang sedang hangat adalah mengenai keberadaan al-Qiyadah al-Islamiyah, yang oleh sebagian masyarakat dianggap berkaitan dengan NII KW 9.
Dalam konteks ini, munculnya aliran-aliran baru dalam Islam bersumber dari kodratinya interpretasi terhadap al-Qur’an. Namun demikian, karena paradigma Islam adalah rohmatan lia alamin, yaitu keharmonisan dalam kehidupan, maka interpretasi terhadap kitab suci dapat dilihat kebenarannya dari aspek ini. Jika munculnya aliran baru dengan ajarannya justru membuat disharmoni kehidupan, misalnya menghalalkan segala cara demi tujuan aliran dan menghilangkan batas-batas kemuhriman, maka aliran ini jelas telah ditunggangi dengan kepentingan praktis yang memanfaatkan agama. Dalam persoalan ini, menurut saya, berarti telah terjadi reduksi interpretasi al-Qur’an oleh kepentingan praktis yang fanatis. Praktis karena ada tujuan keuntungan yang ingin dicapai dengan membangun mental fanatisme pengikutnya yang salah. Fanatisme diterapkan tidak untuk mempertebal iman, tetapi justru untuk menghakimi ajaran atau aliran lainnya, antipluralisme, dan memusuhkan aliran lain untuk membangun basis semangat perjuangannya.
Kepentingan praktis ini telihat dari agama yang tidak lagi diletakkan dalam posisinya sebagai penyelaras kehidupan, tetapi dieksploitasi untuk kepentingan tertentu. Harus diakui, strategi lewat agama ini paling jitu dalam membangun militansi pengikutnya karena; pertama, agama adalah pondasi hidup manusia. Memilih agama adalah hak asasi yang paling asasi, jika yang asasi ini mengalami ketersinggungan maka pasti konflik jelas akan terjadi. kedua, agama adalah media paling dasar dalam proses pencarian identitas manusia. Di sini, kegoyahan dalam pencarian identitas –-yang banyak terjadi pada kaum muda— dimanfaatkan untuk menanamkan ajaran. Tidak mengherankan bila aliran-aliran baru yang kontroversial pengikutnya didominasi oleh para pemuda, terutama para pellajar dan mahasiswa.
Kenyataan di atas memperlihatkan bahwa interpretasi telah dirusak oleh kepentingan pragmatis. Agama diperalat sebagai strategi untuk membangun kekuatan massa. Massa dimobilisasi lewat gerakan-gerakan yang dianggapnya sebagai bagian dari “interpretasi ajaran” yang dilegalisasi atas nama agama. Lihat kasus; penghalalan segala cara dalam berdakwah oleh NII KW 9. Efeknya adalah gerakan-gerakan aliran baru ini menimbulkan keresahan masyarakat. Dan karena keberadaan aliran-aliran baru sudah menyangkut kehidupan bermasyarakat, maka negara juga harus hadir untuk mengatasinya demi melindungi kepentingan masyarakat.

Negara dan “Aliran Sesat”
Peran negara dalam menanggapi persoalan pluralitas interpretasi terhadap kitab suci yang telah melahirkan aliran-aliran baru adalah sebagai pengayom dan pelindung terhadap efek sosial atas keberadaan aliran baru itu. Negara menjamin kebebasan setiap warganya untuk memilih keyakinan, tetapi setiap warga negara juga harus patuh terhadap segala peraturan negara yang mengatur harmonisasi kehidupan masyarakat. Bila keberadaan aliran atau keyakinan baru membuat disharmoni kehidupan beragama dan masyarakat, maka negara mempunyai hak untuk menindak tegas keberadaan aliran tersebut. Harus disadari bahwa dasar negara kira bukan Islam, tetapi UUD 1945 dan Pancasila, di mana kehidupan bermasyarakat diatur dalam UUD 1945 dan Pancasila, termasuk menyangkut kehidupan beragama.
Otoritas negara dalam konteks kehidupan beragama dan bermasyarakat menjadi lembaga yang menerima pengaduan masyarakat, terutama tentang keberadaan suatu aliran baru. Lewat Departeman Agama –-MUI yang menangani persoalan Islam-- harus segera menangani persoalan ini, terutama dengan fatwa boleh tidaknya aliran baru ini hidup di negara ini. Jangan sampai –-seperti yang terjadi saat ini— aksi penghakiman massa yang anarkhis terhadap para pengikut aliran baru yang oleh masyarakat dianggap “sesat” terjadi di mana-mana. Idealnya, negara harus menyadari tentang riskannya persoalan agama terhadap kekerasan. Munculnya aliran-aliran baru harus segara ditangani sehingga kekerasan anarkhis massa tidak terjadi. Yang berhak menindak keberadaan aliran baru ini adalah negara lewat jalur hukum.
Tentunya yang perlu ditangani secara hukum oleh negara terhadap aliran-aliran baru –-yang telah negara dinyatakan “sesat”— adalah menyangkut keberadaan faham aliran tersebut dan tokoh-tokoh utama yang membentuknya. Sedangkan seluruh pengikutnya ini haruslah mendapat perlakuan yang baik. Apabila ada proses hukum, umat ini pun hanya berkedudukan sebagai saksi, bukan terdakwa. Akan tetapi, realitas di masyarakat berbicara lain, munculnya fatwa sesat oleh MUI -–negara— sering dimanfaatkan kelompok tertentu untuk melakukan tidakan anarkhis terhadap para pengikut aliran sesat ini. Akibatnya, rasa ketakutan dan traumatis sosial terjadi pada para pengikut aliran yang difatwa sesat ini. Para pengikut aliran “sesat” pun ramai-ramai mencari perlindungan pada kepolisian. Sungguh menyedihkan. Keadaan ini memperlihatkan bahwa kontrol negara atas perkembangan keberagamaan masih sangat lemah. Negara dalam berbagai kejadian kasus ini selalu terlambat bertindak.
Tindakan progresif dan komprehensif negara terhadap persoalan ini dapat dilakukan dengan; pertama, kontinuitas kontrol terhadap perkembangan agama, termasuk aliran-aliran baru beserta ajarannya. Hal ini dapat dilakukan dengan aktif memantau pergerakan-pergerakannya secara intens dan mendalam. Sehingga sebelum keberadaan aliran baru yang mempunyai potensi untuk membuat disharmoni kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat segera ditindak. Tidak seperti saat ini, negara baru bertindak setelah masyarakat ramai-ramai menghakimi secara anarkhis. Kedua, pembinaan terhadap kerukunan umat beragama masih lemah. Pembinaan ini idealnya dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan yang melibatkan ormas-ormas keagamaan dengan materi tentang wawasan kenegaraan dalam keberagamaan atau penyuluhan-penyuluhan tentang kerukunan umat beragama yang dilakukan secara intens. Tujuannya, agar di tengah kehidupan kita yang plural termasuk dalam berkeyakinan tercipta kehidupan yang harmonis karena munculnya suatu aliran dan keyakinan sebagai kodrat dalam pluralitas interpretasi pasti tidak bisa dihindari. Akan tetapi, bila ada interpretasi kitab suci yang menjurus pada munculnya aliran baru yang bertentangan dengan harmoni kehidupan dan ketersinggungan agama lain dapat segera diatasi oleh hukum negara.

1 komentar:

herudian mengatakan...

wah bagus banget