Jumat, 11 Juli 2008

Otoritas Teks dalam Sastra Sufi

Heru Kurniawan


Adagium bahwa “sastra sufi” haruslah ditulis oleh “seorang yang sufi” membuat sastra sufi kehilangan identitas kesastraannya. Pandangan ini tidak salah, tetapi dalam terminologi ilmu sastra menjadi bermasalah, karena pengertian sastra telah direduksi dan dikebiri oleh pribadi (pengarang). Sastra sebagai seni yang merepresentasikan kode-kode bahasa menjadi kehilangan maknanya karena direbut oleh pribadi pengarang. Pengarang menjadi acuan tunggal untuk memaknai teks sehingga kesufian sastra pun dinilai dari kesufian pengarangnya. Akhirnya, pembacaan teks dibayang-bayangi oleh praanggapan tentang pribadi pengarang. Perspektif ini dalam terminologi sastra disebut dengan tradisi romantik yang dalam perkembangan ilmu sastra sekarang dianggap sudah usang.
Persoalannya, romantisme sastra sufi yang usang ini sering menjadi dasar penilian (kritik), apalagi ketika sastra dikaitkan dengan etika-agama. Lihat misalnya stereotype masyarakat, yang tidak akan menerima “sastra sufi” bila karya itu ditulis oleh orang-orang yang perilakunya tidak agamis (sufi), sementara bila dilihat karyanya sangat kental dengan unsur penyatuan dengan Tuhannya.
Dalam hal ini, menurut saya, orang yang berperilaku tidak agamis (sufi) bukan berarti tidak berpengetahuan agamis (sufi). Ini yang harus dibedakan bahwa antara perilaku dan pengetahuan dua hal yang berbeda. Dan sastra hakikatnya adalah representasi pengetahuan yang sublim ataupun sadar dalam memandang kehidupan. Jadi, sastra tidak selamanya sejalan dengan perilaku dan pribadi penciptanya, bahkan ada suatu anasir bahwa sastra adalah penyuguhan suatu realita dengan cara intransitif dan cenderung destruktif. Hal ini harus disadari sebagai paradigma agar kita tidak terjebak pada pemaknaan yang salah saat menilai teks sastra, terutama sastra sufi. Oleh karenanya, penilaian kesifan suatu sastra harus mulai diletakan pada “otoritas teks” yang menghasilkan kode-kode, bukan pada pribadi yang berperilaku karena teks menurut saya adalah “media pertama” untuk membaca fenomena. Dengan teks komunikasi secara alamiah terjalin, yaitu antara pembaca dengan kode-kode bahasa.
Kritik tajam terhadap pribadi (pengarang) sebagai kiblat-pemilik makna dalam karya sastra dilontarkan oleh Roland Barthes dalam artikelnya Death of the Author. Menurut Roland Barthes bahwa sekarang sudah saatnya kita harus mengembalikan posisi teks “otoritas teks” untuk masa depan, kita harus membalik mitos bahwa kelahiran pembaca harus diimbangi oleh kematian pengarang. Teks dalam pemahaman Barthes adalah kode-kode linguistik yang menghancurkan pengarang sehingga teks hakikatnya adalah suatu “ruang kosong” yang berfungsi sempurna dengan tanpa harus diisi oleh pribadi penulisnya.
Oleh karena itu, sungguh suatu kenaifan bila memaknai kesufian suatu karya sastra harus dengan parameter pribadi dan perilaku pengarangnya. Karena hal demikian berarti kita lebih berpihak pada “siapa yang mengatakan” daripada “apa yang dikatakan”. Padahal Islam sendiri memerintahkan dalam Hadis, “Jangan lihat ‘siapa yang mengatakan’, tapi lihatlah ‘apa yang dikatakan’” atau dalam metafora sehari-hari kita sering mendengar, “sekalipun keluar dari dubur “ayam” tetapi jika “telur” ambilah!; sekalipun keluar dari dubur “manusia” tetapi karena itu “kotoran” maka jauhilah.” Artinya, Islam sendiri sudah menekankan konsep keilmuan bahwa “yang dikatakan” lebih penting dari “yang mengatakan”; “telur dan kotoran” lebih penting dari ”ayam dan manusia”; ini berarti “teks” lebih penting dari “pengarang”.
Itulah kenapa otoritas teks menjadi penting karena dengan otoritas teks makna menjadi universal, di mana proses pemaknaan menjadi alamiah –-tanpa praanggapan, yang dalam istilah fenomenologi-nya Husserl disebut awal muncunya ilimu— antara pembaca dengan kode-kode bahasa. Makna yang muncul dari pemaknaan itu adalah hasil yang mengagumkan karena “kode bahasa” dan “pembaca” saling berbicara dengan caranya sendiri tanpa dipengaruhi oleh pengarang. Teks menjadi bebas menyuarakan kode-kode kesastraannya, sedangkan pembaca memaknai berdasarkan horison pengetehuan sastranya.

Konteks Sastra Sufi Indonesia
Dalam konteks sastra Indonesia, jika “sastra sufi” haruslah ditulis oleh “orang yang sufi”, maka saya memastikan bahwa dalam kesuastraan Indonesia tidak akan ada genre “sastra sufi” karena kita jadi bertanya, “Apakah ada sastrawan Indonesia yang sufi? Apa batasan seseorang dinilai kesufiannya jika agama Islam di Indonesia beragam aliran, bahkan tentang “sufi” saja menjadi perdebatan keberadaannya dalam Islam karena ada aliran yang menolak faham sufi dalam Islam.” Ini jelas persoalan yang tidak dapat terpecahkan jika paradigma pemaknaan “sastra sufi” menjadi milik “pribadi yang sufi.”
Oleh karena itu, pemaknaan sastra sufi Indonesia menurut saya harus diletakan pada dua paradigma dasar. Pertama, kesufian sebagai parameter sastra harus diletakan pada koridor keilmuan. Artinya, sufi adalah konsep (tasawuf) yang sudah menjadi ilmu, bukan kepercayaan sehingga munculnya “sastra sufi” tidaklah sama dengan aliran-aliran dalam Islam yang beragam. Di sisi lain, kesufian dalam sastra juga untuk mengganti istilah yang bermasalah, yaitu “sastra islami” karena batasan sastra islami kabur dan tidak jelas; misalnya apakah sastra islami harus ditulis orang Islam, apakah harus ada ajaran-ajaran Islam –-terus ajaran Islam menurut aliran apa? karena dalam Islam sendiri ada berbagai aliran-- Akan tetapi, dengan sastra sufi semua menjadi jelas karena sufi (tasawuf) adalah ilmu –-terminologi esoteris Islam di mana Annimarie Schimel menyebutnya mistik Islam—yang mengetengahkan perjalanan aku-lirik dalam melakukan hubungan yang mesra, bahkan ingin menyatukan diri dengan Tuhan. Dengan diletakan sufi –-sufisme atau sufistik—sebagai ilmu, maka istilah sufi dalam sastra sufi bersifat universal sebagaimana ilmu, tidak tersekat oleh kelompok-kelompok sekterian tertentu.
Kedua, pemaknaan sastra sufi Indonesia modern harus diletakan pada “otoritas teks” atau dalam bahas Paul Ricoeur disebut “otonomi semantik teks,” yaitu suatu paradigma memaknai dan menilai kesufian sastra dengan berdasarkan pada kode-kode yang terepresentasikan dalam teks, bukan pada pribadi-pengarangnya. Dengan peletakan dasar ini maka perkembangan sastra sufi di indonesia dapat diungkap dan dtelusuri mulai dari periode pra-Indonesia modern (sastra Nusantara) yang menurut Abdul Hadi WM dimotori oleh Hamzah Fansuri sampai ke sastra Indonesia modern dari periode Balai Pustaka sampai sekarang.
Menurut saya dengan menempatkan dua paradigma ini maka, maka penelitian terhadap sastra sufi Indonesia dapat dilakukan secara komprehensif karena ketiadaan pengarang sebagai pribadi menjadi tidak penting, yang terpenting adalah memaknai teks berdasarkan pada konteks yang membangunnya sehingga kontekstualisasi bisa dilakukan. Kontekstualisasi sastra sufi ini dapat dilakukan karena konteks saat teks diciptakan dapat direkonstruksi ulang berdasarkan pada data-data sejarah sosial masyarakat dan sastra yang ada.
Akhirnya saya berharap, dengan paradigma ini, kajian, kritik, dan penelitian terhadap sastra sufi Indonesia bisa terus dikembangkan, terutama pada karya sastra periode tahun 1980-an sampai sekarang, yang menurut saya masih sangat minim apresiasi. Semoga!

Dimuat di Jawa Pos, Minggu 12 Januari 2008.

Tidak ada komentar: