Jumat, 11 Juli 2008

Resistensi Sastra terhadap Kekuasaan

Heru Kurniawan

Kekuasaan adalah sebuah konsep yang abstrak, tetapi sangat berpengaruh terhadap kehidupan. Kekuasaan telah menciptakan kekuatan yang mengendalikan perilaku dan pemikiran kita. Kekuasaan adalah milik kelompok atas yang terus melakukan mobilisasi pandangan, ideologi, dan pengaruh kepada kelompok bawah agar tetap terdefinisikan, terbentuk, terkontrol, dan terdisiplinkan perilakunya untuk kepentingan kekuasaan.
Dalam melakukan mobilisasi pengaruh ini, strategi yang bisa diambil, salah satunya mengembangkan wacana yang dikonstruksi untuk kepentingannya dengan menciptakan kepemimpinan moral-intelektual. Dalam istilahnya Gramsci, model ini akan menciptakan hegemoni, di mana tanpa disadari masyarakat menjadi terdisiplinkan pikiran dan perilakunya terhadap konsep yang diinginkan penguasa. Jika hal ini dibiarkan maka kekuasaan akan mengendalikan “kebenaran” pengetahun dan pandangan masyarakat sebagai common sense yang arahnya melegitimasi kekuasaan.
Imbasnya, kekuasaan yang terlalu lama mempunyai potensi besar untuk korup. Kita bisa belajar dari Pemerintahan Orde Baru yang selama hampir 35 tahun telah efektif mengendalikan wacana (hegemonik) di setiap sudut kehidupan; agama, pendidikan, dan budaya sehingga kebenaran tunggal terdefinisikan atas kepentingannya. Maka, kekuasaan dengan segala kekorupannya terpelihara dengan rapi. Hal ini menunjukkan dominasi wacana kelompok berkuasa bukanlah berarti tanpa kepentingan.
Oleh karena itu, idealnya untuk menjaga harmoni “pertarungan ideologis”, maka keberadaan wacana dominan haruslah ditandingi dengan keberadaan wacana alternatif, yaitu menghadirkan wacana yang termarjinalkan oleh wacana dominan secara proporsional. Tujuannya agar masyarakat tidak terseragamkan sehingga pendewasaan dan penghargaan terhadap “perbedaan” tetap terapresiasi.
Persoalannya, bukanlah hal mudah untuk melakukan itu karena wacana alternatif masih dipersepsi sebagai hal yang “menyimpang” bahkan “salah” karena tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat banyak. Padahal, wacana alternatif sebenarnya bukanlah wacana yang “salah” atau “benar”, tetapi wacana terpinggirkan yang keberadaannya dihilangkan kekuasaan. Di sinilah, perlunya sebuah media yang berani untuk menyuarakan wacana alternatif yang gerakannya ramah, tetapi efektif untuk membentuk persepsi masyarakat dalam memandang dunia.
Dalam hal ini, saya melihat sastra menjadi dunia yang representatif untuk melakukan itu sebagai bentuk resistensi terhadap wacana dominan yang telah terkooptasi oleh kekuasaan. Dengan wacana alterlnatif ini maka persepsi masyarakat bisa kritis dalam memandang dunia, tidak taken for granted. Pertanyaannya adalah apakah sastra kita sudah merepresentasikan wacana pemikiran alternatif dalam melawan kekuasaan? Resistensi apa yang dilakukan sastra terhadap kekuasaan?

Bentuk Resistensi Sastra terhadap Kekuasaan
Pada hemat saya, wacana sastra Indonesia modern sejak kemunculannya pada tahun 20-an, sudah lahir dengan resistensi atas kekuasaan dominasi dan kultural. Hal ini terjadi karena sastra hakikatnya merupakan cara berpikir yang intransitif dan destruktif dalam memersepsi dunia. Sastra selalu ingin membangun wacana yang lain dari wacana-wacana yang sudah terpola dan terkuasai oleh kepentingan kekuasaan di masyarakat. Hanya persoalannya, tetap saja wacana alternatif dalam sastra dikendalikan oleh kekuasaan (pemerintah) di luarnya sehingga wacana-wacana perlawanannya hanya berarah pada apa yang luput dari kekuasaan (pemerintahan).
Bentuk perlawanan sastra ini dapatlah disebutkan; pertama, resistensi sastra terhadap kekuasaan pemerintah. Dalam hal ini puisi-puisi Muhammad Yamin (MY) dalam Tanah Air (1922) dapat disebut sebagai sastra yang menyuarakan wacana alternatif “nasionalisme” yang pada masa pemerintahan kolonial menjadi dipersoalkan karena semangat nasionalisme bisa meruntuhkan dominasi kekuasaannya. MY mengangkat wacana alternatif sebagai representasi atas ideologinya untuk melawan kekuasaan. MY menyajikan wacana tentang kepatuhan sesungguhnya dari sebagai warga negara adalah pada “tanah air”nya, bukan pada orang asing yang nyata telah menjajah, seperti yang saat itu terjadi. Maka, semangat perjuangan “melawan” harus didasarkan pada tanah air, bukan pada kepentingan atau kelompok-kelompok tertentu. Semangat nasionalisme sajak-sajak MY ini akhirnya menjadi salah satu wacana yang mengarahkan pemikiran pemuda Indonesia untuk mendeklarasikan “Sumpah Pemuda” tahun 1928. Di sini saya mengatakan bahwa MY telah berhasil memobilisasi wacana alternatif sebagai bentuk resistensinya terhadap kekuasaan kolonial.
Semangat perlawanan terhadap kekuasaan pada pemerintahan Jepang dan masa perang tahun 1945 jelas juga tergambarkan dalam sajak-sajak Chairil Anwar, misalnya dalam buku puisi Deru Campur Debu dan Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus (1951). Dengan gaya puisi yang ekspresionis dan realis, sajak Chairil Anwar menyuarakan perjuangan, misalnya dalam sajak “Diponegoro” dan “Karawang Bekasi” yang mampu menanamkan gelora semangat untuk berperang melawan kekuasaan penjajah.
Sementara itu, resistensi sastra terhadap kekuasaan pada masa Orde Lama dan Orde Baru, intens disuarakan oleh Taufik Ismail lewat puisi-puisinya dalam Benteng dan Tirani dan W.S. Rendra dalam Potret Pembangunan dalam Puisi yang menyuarakan wacana protes terhadap kekuasaan pada masa itu. Sampai-sampai intimidasi dan pencekalan atas nama kekuasaan pun terjadi pada W.S. Rendra karena karya-karyanya dan pementasannya dianggap “makar” dan menyuarakan hal-hal yang tidak sejalan dengan kekuasaan. Di akhir kekuasaan Orde Baru, wacana alternatif sastra yang resisten terhadap kekuasaan sangat ramai, puncaknya adalah kemunculan novel Saman karya Ayu Utami yang nyata memobiliasasi tokoh-tokoh pergerakan yang anti-Orde Baru. Kekuasaan Orde Baru dalam novel Saman dipersepsi sebagai “biang” dari segala disharmoni dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, resistensi sastra terhadap kekuasaan kultural. Suara-suara resistensi sastra terhadap kekuasaan kultural juga sudah terdengar dari novel-novel masa kolonial yang banyak menyuarakan; pertentangan kaum muda dengan kaum tua; kawin paksa; kebebasan dan kebangsaan; arah berkebudayaan; dan cita-cita membangun masyarakat yang harmoni –-ini dilahirkan oleh aliran seni bertendens yang disuarakan oleh Sutan Takdir Alisjahbana (STA), misalnya--. Pada masa angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru wacana perlawanan terhadap kultural subur karena pada saat itu pemerintah kolonial lewat Balai Pustaka menyeleksi karya-karya sastra dengan berpedoman pada nota rinkes, yaitu karya sastra harus mendidik, tidak bertentangan dengan politik pemerintahan, dan netral dari agama. Akibatnya, pada masa ini sastra muncul dengan wacana yang hanya resisten terhadap persoalan kulutural, tetapi minim terhadap perlawanan pada kekuasaan.
Ketiga, resistensi sastra terhadap kekuasaan patriakhi. Pada persoalan ini saya merasa prihatin karena sastra yang menyuarakan perlawanan yang anti-patriarkhi hanya menjadi milik kaum perempuan. Sementara kenyataannya dunia sastra Indonesia didominasi oleh laki-laki sehingga sastra sebagai wacana yang melawan kekuasaan patriakhi tak banyak bicara. Misalnya, sekalipun lewat Layar Terkembang, STA sudah bersuara tentang feminisme, tetap saja STA berpihak dan memenangkan persepsi laki-laki yang dianggap lebih memilih perempuan berbakti daripada yang pintar dan berkarier.
Sampai saat ini, wacana resistensi sastra terhadap kekuasaan patriakhi terkotak pada dikotomisasi yang stereotype, di mana penulis laki-laki dipersepsi tidak mungkin karyanya mempunyai sensitivitas gender karena sensitivias gender hanya dipunyai perempuan. Akibatnya, penelitian dan kritik sastra tentang feminisme dalam sastra selalu objeknya karya sastra yang ditulis perempuan. Padahal, persoalan gender muncul karena adanya kekuasaan laki-laki yang --disadari atau tidak-- ingin selalu membangun superioritasnya atas perempuan.
Oleh karenanya, yang perlu disadarkan terhadap persoalan ini adalah laki-laki, maka kritik dan penelitian harusnya dilakukan dengan berpusat pada praktik-praktik kekuasaan dari karya penulis laki-laki dalam posisinya sebagai “agen laten” patriarkhi, sekalipun tidak seutuhnya bisa menjadi total menempatkan posisi perempuan dengan semestinya dalam sastra, tetapi penulis laki-laki mempunyai semangat, kesadaran, dan pandangan dunia yang asimetris dalam memersepsi perempuan. Sehingga sekalipun sastra ditulis oleh laki-laki, tetapi di dalamnya bisa memunculkan wacana alternatif atas kekuasaan patriarkhi.
Pada persoalan feminisme inilah saya melihat sastra kita masih belum berdaya mewacanakan pemikiran alternatifnya dalam melawan kekuasaan patriarkhi. Karya sastra yang ditulis laki-laki masih tetap melegitimasi kepentingannya untuk menjaga kekuasaannya.

Tauhid sebagai Esensi Estetika Sastra Sufi

Heru Kurniawan


Apa yang ingin saya ungkapkan ini mengenai paradigma pemahaman sastra sufi dilihat dari pondasi Islam dan epistemologi sastra. Penggabungan keduanya, menurut saya, akan menghasilkan suatu paradigma sastra sufi yang logis. Sekalipun pengertian ini bersifat analogis, tetapi yang akan saya ungkapkan dapat menjadi cara pandang dalam memosisikan sastra sufi, yang sampai saat ini masih rancu karena dikaburkan oleh cara pandang subjektif sebagai pengaruh etika agama yang tidak dilihat secara keilmuan. Hasilnya, cara pandang paradigma sastra sufi dalam kesusastraan Indonesia masih terbelenggu oleh romantisme dan keyakinan Islam yang sempit.

1.
Hal mendasar yang diungkapkan dan diabadikan dari karya seni adalah estetika, yaitu cabang filsafat yang berbicara tentang keindahan, dan kesamaan fundamental dari setiap karya seni adalah estetika, sedangkan letak perbedaannya pada media penyampainya. Misalnya, antara seni sastra dan seni lukis itu sama-sama menyampaikan keindahan. Akan tetapi, keindahan dalam sastra disampakan lewat bahasa, sedangkan keindahan dalam lukisan disampaikan lewat harmonisasi warna. Warna dan bahasa inilah yang disebut media penyampainya.
Di sini terlihat bahwa media penyampai adalah badan, sedangkan estetika merupakan ruh. Sekalipun keduanya mempunyai posisi yang penting, tetapi tubuh hanya mempunyai fungsi untuk “mengantarkan” sedangan kenikmatan yang sebenarnya adalah pada “ruh”. Dengan ruh ini ekspresivitas seni terlahir, yang efeknya akan menciptakan pengalaman hidup baru yang “mencerahkan atau katarsis.” Karena estetika merupakan ruh, maka hakikat estetika adalah “pribadi” yang keberadaannya paling fundamental dalam seni. Tidak mengherankan bila pergelutan kreator dalam dunia kreativitas sebenarnya adalah suatu usaha dalam menemukan estetika yang berpribadi.



2.
Sementara itu, pondasi ajaran Islam itu bertumpu pada tauhid, yaitu suatu kesadaran dalam “peng-Esa-an Tuhan” dengan “Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan.” Kesadaran ke-Esa-an Tuhan ini mengimplikasikan suatu pandangan hidup bahwa eksistensi alam semesta hanya berinti pada Tuhan. Maka keyakinan hidup manusia haruslah bertumpu pada Tuhan. Manusia harus yakin bahwa segala gerak alam semesta itu terjadi kerena eksistensi Tuhan. Tanpa Tuhan Yang Mahakuasa, maka alam semesta tidak ada. Tuhan adalah inti realitas yang membuat realitas menjadi ada, termasuk manusia itu sendiri. Karena dasar tauhid ini, tidak mengherankan bila “pengingkaran” manusia terhadap Tuhan, dalam Islam, diposisikan sebagai sikap berdosa paling tinggi yang tidak terampuni.
Implikasi dari penyaksiaan ketauhidan ini adalah iman, yaitu keyakinan-keyakian terhadap keberadaan Tuhan, malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kiamat, dan takdir. Dengan keimanan ini maka sudah sempurnalah setiap individu menjadi Muslim. Selanjutnya, individu tersebut akan hidup dalam garis Islam yang bersandar pada al-Qur’an dan Hadis. Di sini terlihat bahwa peran utama tauhid adalah sebagai pintu masuk menuju “Islam” sebagai agama teologis-humanisme, yaitu penciptaan “rahmatan lil alamin” dengan berdasar konsep ketuhanan.

3.
Dua penjelasan di atas memperllihatkan bahwa esetetika adalah esensi dari sastra, sedangkan tauhid adalah pondasi dari Islam. Oleh karenanya paradigma “sastra sufi” --sebagai dunia yang dibangun oleh “seni” dan “Islam”— merupakan bagian seni Islam yang pondasi filosofinya berdasarkan estetika tauhid, yaitu keindahan-keindahan filosofis yang berpangkal pada peng-Esa-an Tuhan. Estetika tauhid akan mengungkapkan pengembaraan dan perjalanan untuk menuju yang transenden. Muaranya adalah pada nilai-nilai illahiah, yaitu suatu kesadaran tentang keberadaan Tuhan pada setiap gerak dan peristiwa dalam kehidupan.
Di sini saya memaknai konsep tauhid Islam tidak hanya pada wilayah prinsip keimanan yang eksoterik. Akan tetapi, tauhid saya letakan pada dimensi esoterik, yaitu ruang kehidupan yang luas, yang oleh Ismail Raji al-Faruqi dalam bukunya Cultural Atlas of Islam disebut tauhid sebagai prinsip peradaban. Tauhid sebagai dasar peradaban adalah unsur struktur pemberi identitas peradaban yang mengikat dan mengintegrasikan keseluruhan unsur pokok sehingga membentuk suatu kesatuan yang padu. Peradaban yang dibangun di atas nilai-nilai tauhid inilah yang sesungguhnya mencerminkan hak tipikal Islam. Dengan dimensi tauhid yang sampai menjangkau peradaban, maka seni Islam (sastra) tidak terkecuali, hakikatnya adalah menyuarakan tauhid dalam kapasitasnya sebagai sarana untuk mempengaruhi peradaban masyarakat.
Oleh karenanya, sastra sufi sebagai bagian dari gerak kehidupan akan berpartisipasi aktif, kreatif, sadar, dan bertanggungjawab terhadap seluruh aktivitas kehidupan yang bermuara kepada Tuhan. Estetika sastra sufi selalu menyuarakan kesatuan alam semesta dalam pencipta-Nya sehingga sastra sufi membangun pemahaman yang berujung pada Tuhan. Sarana pengucapan dalam sastra sufi yang bertabur hal keduniaan hakikatnya adalah jalan untuk menginsyafi keberadaan Tuhan. Hal inilah yang menyebabkan sastra sufi selalu menyuarakan nafas ketuhanannya dengan simbolitas. Hal ini dapat dimaklumi karena Tuhan sebagai inti realitas tidak sama dengan realitas-realitas yang diciptakannya.

4.
Setelah mengetahui tauhid sebagai esensi estetika sastra sufi, persoalan yang kemudian muncul adalah “apa parameter estetika sastra dianggap menyuarakan dimensi tauhid?” Dalam hal ini, saya mengatakan bahwa ketauhidan sebagai suatu estetika hanya dapat dilihat dari dialog yang intens antara “pembaca dengan karya.” Pembaca adalah pemegang “otoritas esetetis” karena hakikat interpretasi sebagai pemahaman itu subjektif. Hal ini terjadi karena konsep “subjektivikasi” estetika terjadi karena adanya dialog antara “penciptaan yang personal” dengan “penikmatan yang impresi” sehingga dialog antara karya dan penikmat menjadi suatu produksi pengalaman pribadi penikmat yang tanpa henti dalam konteks sejarah.
Idealisasi rekonstruksi karya harusnya didasarkan pada “pengalaman pembaca” dan “kemungkinan-kemungkinan yang diciptakan teks”. Akan tetapi, sering sekali hal itu tidak terjadi. Rekonstruksi makna justru berjalan searah, yaitu hanya dikuasai oleh pembaca. Pembaca karya sastra, menurut saya, sering arogan dalam memperlakukan karya. Karya hanya diperlakukan sebagai “artefak” yang pemaknaannnya menjadi “semau gue” sehingga apa yang didapat pembaca dalam pemaknaan hanyalah “reproduksi pengalaman” pembaca. Pembacaan model inilah yang menyebabkan pemaknaan gagal karena pembaca tidak bisa merefleksikan dirinya di hadapan karya.
Harus dipahami bahwa hakikat pembacaan pada karya muaranya adalah “refleksi diri” di hadapan karya. Oleh karenanya, dalam proses pembacaan, pengalaman pembaca dan karya berada dalam posisi yang sama, yaitu pembacaan terhadap karya haruslah memperlakukan karya sebagai “ruang kemungkinan” yang juga akan mengarahkan pembacanya untuk menelusuri “makna keinginan” dari karya. Di sini pembaca dan karya terlibat dalam pemaknaan yang harmonis sehingga pembaca akan dapat “merefleksikan dirinya” dengan sempurna di hadapan karya, dan karya mampu memberikan pengalaman-pengalaman baru kepada pembaca. Efeknya, pembaca akan mendapatkan pemahaman atas karya yang dimaknai.
Dengan “perefleksikan diri” dihadapan karya “sastra sufi” maka pembaca akan menikmati pengalaman transendental yang bermuara pada Tuhan. Di sini terlihat bahwa kesufian suatu karya terletak pada “apresiasi pembaca” yang memang ketika membaca karya ia mendapatkan “Tuhan” di sana. Saya memersepsi bahwa “estetika tauhid” yang diusung “karya” adalah hakikat karya dikatakan sufi karena “sufi adalah pemahaman terhadap nilai yang terdapat karya”. Dan ujung dari sastra sufi adalah menyampaikan pemahaman pada pembaca tentang Tuhan sebagai inti realitas.
Oleh karena itu, siapapun penyairnya jika puisi yang diciptakan mampu memberikan pemahaman ketauhidan pada pembaca, maka puisi itu dapat dikatakan “sastra sufi”. Hal ini berarti bahwa pemahaman sastra sufi harus diletakkan pada “nilai ketauhidan yang terdapat pada karya” bukan pada penciptanya. Dalam hal ini saya menyamakan kedudukan “penyair sebagai pencipta” sama seperti “pendakwah” dalam terminologi siar Islam. Pendakwah mempunyai tugas menyampaikan kebaikan (Islam) pada orang lain, tetapi pendakwah tentu tidak ingin kalau ada orang yang masuk Islam karena dirinya. Pendakwah menginginkan orang masuk Islam itu karena kesadarannya bahwa Islam adalah agama yang baik, seperti isi dakwahnya. Di sinilah terlihat bahwa penyair hanyalah “penyampai” maka jadilah penyampai yang cerdas dan baik.


Dimuat pada Harian Lampung Post, Minggu 4 Mei 2008

Agama, Sastra, dan Pluralitas

Heru Kurniawan



Kalau saya menganalogikan alam semesta dan sastra sebagai dunia yang sama, itu karena di antara keduanya mempunyai paradigma yang seide, yaitu alam semesta dan sastra merupakan dunia manifestasi dari penciptanya. Alam semesta adalah manifestasi dari “perbendaharaan Tuhan”, sedangkan sastra adalah manifestasi “pikiran pengarang”. Dalam tradisi filosofis, alam semesta dan sastra sama merepresentasikan kegeniusan penciptanya. Karena alam semesta dan sastra sebagai perwujudan Tuhan dan pengarang selamanya tidak mampu merepresentasikan “kemahaan” penciptanya. Alam semesta adalah bahasa Tuhan dalam mewujudkan diri-Nya, tapi kesempurnaan alam semesta tidaklah sesempurna Tuhan. Tuhan jauh lebih sempurna lagi. Hal ini juga terjadi pada sastra, seluas apapun pemikiran dalam sastra tetaplah tidak bisa sama dengan keluasan pikiran pengarangnya karena menulis sastra hakikatnya mengambil keputusan untuk menghentikan pengembaraan ide dan memilih salah satu ide yang dianggap menarik untuk dituliskan. Jadi, masih ada berjuta ide yang terdapat dalam diri penulis yang tidak dituliskan.
Dengan dasar melihat kegeniusan mutlak yang dimiliki pencipta ini maka tradisi romantik lahir. Tradisi romantik muncul sebagai gerakan yang menyuarakan kiblat mengembalikan alam semesta dan sastra pada penciptanya. Cara pandangnya pun berujung pada pencipta, maka alam semesta dan sastra menjadi dunia yang “diabaikan” karena dialog yang dibangun adalah komunikasi dengan yang “maha jenius”, yaitu penciptanya. Dalam tradisi sastra, pembaca akan mengabaikan karya sastra. Karya sastra dianggap tidak penting, yang paling penting adalah pengarangnya. Sedangkan dalam tradisi keagamaan, manusia akan menyempurnakan hubungan transendental dengan mengesampingkan alam semesta. Yang terpenting adalah kebaktian yang transendental. Jika hal ini terjadi maka saya membayangkan efek terbesarnya adalah dunia akan terbengkalai. Di sini terlihat bahwa tradisi romantik adalah paradigma yang membuat hubungan “manusia dengan alam semesta” dan “pembaca dengan karya sastra” menjadi terdegradasi.
Dalam hal ini, saya menganggap bahwa alam semesta dan sastra sama seperti “teks” sebagai fenomena yang diciptakan oleh Tuhan dan pengarang. Oleh karenanya, dalam alam semesta dan sastra itu terdapat esensi suara “Aku Berada” yang keberadaannya hanya dapat diungkap dengan dialog yang intens antara; “manusia dengan alam semesta” atau “pembaca dengan karya sastra”. Hubungan dialogis ini yang menciptakan peluang manusia dan pembaca untuk mengembangkan diri. Dalam dimensi agama, manusia sebagai khalifah mempunyai kewajiban untuk menjaga hubungan yang harmoni dengan alam semesta. Dengan paradigma harmoni ini maka manusia dapat menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan dalam sastra, pembaca diberikan otoritas untuk membuka pemahaman (understanding) terhadap karya sastra dengan melakukan pendakuan terhadap karya sastra. Pembaca mempunyai otoritas untuk memaknai karya sastra dari perspektifnya sendiri. Dengan menekankan dialog antara “pembaca dengan karya sastra” dan “manusia dengan alam semesta”, maka pembaca dan manusia menjadi objek sentralnya. Di sinilah terlihat semangat humanisme yang kuat dalam paradigma ini.


Dialog “Aku Berada” dengan “Mengada Saya”
Dengan kesadaran bahwa dalam alam semesta dan sastra adalah manifestasi “Aku Berada” maka dialog dan penaklukan yang terjadi “manusia dengan alam semesta” dan “pembaca dengan karya sastra” tetap dalam semangat nilai transendensi dan humanisasi. Manusia memaknai alam semesta dalam rangka untuk mengungkap kebesaran Tuhan. Oleh karenanya, saat manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya meneliti nyamuk, misalnya, maka ujung penelitiannya adalah untuk kemanfaatan umat dan mengungkap kesadaran pada kebesaran Tuhan. Misalnya, kesadaran betapa Tuhan Yang Mahasempurna menciptakan mahluk sekecil nyamuk yang ternyata mempunyai struktur rumit yang tidak bisa diciptakan manusia. Inilah yang saya sebut dengan kesadaran transendensi yang berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan (humanisasi). Lewat eksistensi nyamuk kemudian manusia berpikir dan meningkatkan dirinya.
Pada wilayah sastra, pembaca memaknai karya sastra dalam rangka memberikan apresiasi terhadap diri dan pengarangnya. Pembaca mengungkap “Aku Berada” pengarang dengan berdasar pada otoritas persepsinya. Tidak ada objektivikasi di sini karena karya sastra dipandang sebagai dunia yang akan hidup jika bersentuhan dengan pembacanya. Tanpa pembaca, karya sastra menjadi dunia yang mati (artefak). Maka menurut Paul Ricoeur, pada komunikasi seperti ini karya sastra menjadi dunia yang merepresentasikan dua kemungkinan, yaitu “mengacu pada dirinya sendiri” (sense) dan “mengacu pada dunia luarnya” (reference). Sense muncul sebagai penjelasan yang menerangkan karya sastra pada lingkup otonom, sedangkan reference sebagai pejelasan yang menerangkan keterkaitan karya sastra dengan dunia luar yang diacu. Pembukaan sekat penjelasan makna ini yang akhirnya mengarahkan pembaca untuk menemukan dirinya sampai pada titik pemahaman, yaitu pembiaran karya sastra dan dunianya memperluas cakrawala pemahaman tentang dirinya sendiri.
Di sinilah terlihat bahwa pemaknaan karya sastra, selain untuk memaknai “Aku Berada” penulis juga untuk memaknai “Mengada Saya” pembaca. Komunikasi di antara keduanya ini yang menjadikan paradigma ini menjunjung tinggi semangat humanisasi. Pengarang dan pembaca ditempatkan pada posisi yang proporsional, yaitu diapresiasi sebagai individu yang memiliki pemikiran dan ditempatkan sebagai kodrat yang mencipta dan memberi makna.
Apa yang saya pahami dengan paradigma ini bahwa agama dan sastra telah memberikan pemahaman tentang hakikat “Aku Berada” dalam alam semesta dan sastra yang harus dieksplorasi berdasar “Mengada Saya” manusia dan pembaca. Oleh karena itu, menurut saya, “Aku Berada” mewakili dunia transendensi; Tuhan dan pengarang, sedangkan “Mengada Saya” mewakili dunia yang humanis; pembaca sebagai manusia. Perkawinan yang harmoni antara dimensi transendensi dan humanisme ini yang melahirkan pembebasan (liberasi), yaitu semangat manusia untuk membebaskan dirinya dari sekat keprimitifannya yang dapat menciptakan disharmoni. Kuntowijoyo dalam konsep profetiknya memaknai liberasi sebagai semangat untuk mencegah kemungkaran (nahimunkar), suatu sikap di mana manusia menyadari keberadaannya untuk saling berbuat baik demi kelangsungan hidupnya.
Oleh karenanya, pembaca sebagai manusia harus mempunyai pemahaman tentang eksistensinya sebagai individu yang harus terus belajar terhadap semua teks di alam semesta demi peningkatan taraf hidupnya yang diukur oleh perilakunya yang transenden dan humanis. Dalam tradisi agama, konsep ini disebut sebagai hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta. Keberadaan ini bisa tercapai jika manusia terus melakukan eksplorasi terhadap alam semesta dan ilmu.


Semangat Pluralisme
Dengan penekanan pemahaman (understanding) alam semesta dan sastra pada dialaog antara “Aku Berada” pencipta dengan “Mengada Saya” pembaca sebagai manusia, maka efek terbesar yang tidak bisa dihindari tradisi ini adalah keanekaragaman (pluralitas). Ini terjadi karena kehakikatan pembaca sebagai manusia yang tidak seragam. Fitrah yang telah terkodifikasi dalam sejarah pembentukan pengalaman menjadikan antara manusia yang satu dengan lainnya berbeda. Oleh karenanya, “Mengada Saya” lahir dengan wajah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tidak bisa dihindari kalau hasil pemahaman terhadap alam semesta dan teks pun menjadi beragam. Inilah kekayaan yang luar biasa. Pluralitas dunia menurut saya adalah kodrat yang indah, harus dihargai dalam semangat pluralisme.
Inilah paradigma semangat gerakan postmodern yang kembali melakukan kritik atas keseragaman dan kemapanan dari suatu narasi besar. Peletakan paradigma pada kekuatan pembaca sebagai manusia yang harus dihargai menjadikan semangat humanisasi sesungguhnya yang diletakkan atas dasar nilai-nilai kemanusiaan yang transenden. Tidak mengherankan bila konsep kekuatan suatu negara kini bergeser pada pluralitas. Pluralitas yang pada awalnya menjadi “persoalan” kini telah menjadi “kekuatan”. Tidak mengherankan bila keseragaman yang selalu diperjuangkan pemerintahan orde baru pada akhirnya menjadi bumerang karena pada kenyataannya masyarakat yang plural tentu tidak bisa diseragamkan.
Harus disadari bahwa pluralitas adalah kenyataan alamiah yang tak terhindarkan, demikian paradigma alam semesta dan sastra menempatkan pemahamannya pada manusia dan pembaca. Oleh karena itu, keberbedaan yang menghiasi seluruh lingkup kehidupan haruslah dimaknai sebagai apresiasi atas nilai humanisme-transendental yang akan berujung pada pembebasan (liberasi).

Dimuat pada Harian Lampung Post, Minggu 30 Maret 2008

Eksistensialisme Makna Karya Sastra

Heru Kurniawan


Menurut Ricoeur dalam bukunya Interpretation Theory: Discourse and Surplus Meaning tradisi posivistik-logis telah menciptakan pembedaan antara makna eksplist dan makna implisit yang diperlakukan sebagai perbedaan antara bahasa kognitif dan emotif yang dalam tradisi strukturalisme disebut juga dengan makna denotasi dan konotasi. Persoalannya adalah di manakah makna karya sastra meletakan paradigma filosofisnya?
Makna eksplisit adalah makna absolut yang langsung diacu oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat denotatif (sebenarnya) sebagai representasi dari bahasa kognitif. Sedangkan makna implisit adalah makna universal yang disembunyikan oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat konotatif (kias) sebagai representasi dari bahasa emotif. Makna eksplisit mengacu pada informasi, sedangkan makna implisit mengacu pada emosi. Mencermati paradigma makna ini, maka karya sastra jelas condong pada tradisi implist karena substansi dari sastra adalah subjektivikasi-ekspresi yang diarahkan pada estetika dengan pemberdayaan bahasa yang emotif. Akan tetapi, tradisi positivistik-logis yang mengasumsikan bahwa tujuan satu-satunya bahasa adalah kode yang merepresentasikan dan mengkomunikasikan informasi aktual menyebabkan tradisi positivistik jelas lebih berpihak pada makna eksplisit-denotatatif daripada makna yang diusung karya sastra implisit-konotatif.
Di sinilah kemudian tradisi positivistik cenderung memandang miring karya sastra karena maknanya yang implisit-konotatif dan tidak objektif, tidak menciptakan satu sistem yang pasti. Oleh karena itu, objektivisasi karya sastra lahir sebagai gerakan kaum positivistik yang menyuarakan faham strukturalisme-otonom, yang memandang makna karya sastra sebagai dunia yang independen. Oleh karena itu, makna konotasi-implisit dalam bahasa emotif karya sastra dimaknai dalam paradigma internal teks. Faktor eksternal teks dinihilkan dengan tujuan untuk menjaga kemurnian makna karya sastra agar tetap karena usaha analisis kajian ini adalah untuk mengungkap makna strutur dalam (deep structure).
Padahal kenyataanya, pengertian makna konotasi-implisit pada bahasa emotif dalam karya sastra tidaklah sesederhana hanya bergerak pada wilayah semantik (internal teks) saja karena persoalan sastra bukan hanya mengacu pada dunia yang dikonstruksi oleh struktur –-seperti diwacanakan oleh kaum strukturalisme—atau persoalan intern bahasa yang defamiliar -–seperti yang diwacanakan kaum formalisme Rusia--. Dalam hal ini saya menganggap bahwa sastra adalah “realitas imajiner” yang dikonstruksi sebagai refleksi “realitas masyarakat”. Jadi, makna konotasi karya sastra tidak hanya terkotak pada tradisi internal-semantik, tetapi juga keluar dari dirinya, yaitu selalu menjalin hubungan yang dialektis dengan “realitas masyarakat” sebagai bahan dasarnya.
Dalam hal ini saya memahami makna konotasi dalam tradisi filsafat sebagai makna yang universal dan selalu berubah. Oleh karena itu, substansi makna konotasi hakikatnya adalah eksistensialis. Perubahan makna konotasi ini bukan terjadi dalam “dinamika internal karya sastra”. Akan tetapi sebaliknya, perubahan makna ini terjadi karena “dinamika eksternal karya sastra”, yaitu pembaca sebagai mahluk sosial, pembaca yang dipahami sebagai individu yang telah dikodifikasi oleh sejarah sosial masyarakatnya. Oleh karena itu, perubahan makna dalam karya sastra dibentuk juga oleh dinamika historis yang diakronik. Hal inilah yang menjadikan karya sastra selalu merepresentasikan semangat zamannya. Dalam hal ini Deridda mengatakan bahwa konsep (makna) terus berubah, bergerak, dan berkembang berdasar pada penyejarahaannya. Sehingga makna sebagai inti dari struktur karya sastra bergerak dalam poros ruang dan waktu.
Jadi, eksistensialisme makna dalam karya sastra tidak hanya menyangkut keberadaan makna bahasa yang multi-interpretasi, tetapi lebih dari itu, makna eksistensialisme karya sastra mengacu pada perubahan makna yang selalu dimunculkan oleh pembaca dalam konteks ruang dan waktu. Dengan menempatkan posisi makna karya sastra seperti ini, maka menurut saya, kita telah menempatkan teks sastra pada “ruang kebudayaan” yang humanis karena eksistensialisme makna karya sastra dipandang dari realitas sosial budaya yang menjadikannya. Sebaliknya, jika makna karya sastra yang implisit-konotatif ditempatkan pada dinamika internal teks, maka kita berarti telah mengalienasi karya sastra dari “ruang kelahirannya,” yaitu dinamika sosial masyarakat.

Dalam Studi Kasus: Polemik Sastra Kelamin
Dalam studi kasus yang masih hangat tentang polemik sastra antara kubu Hudan Hidayat, Binhad Nurrohmat, dkk dengan Taufik Ismail, dkk yang menyangkut tentang fenomena sastra yang pada akhir-akhir ini diramaikan oleh vulgarisme dalam berbicara tentang seks beserta pernik-perniknya, bagi saya adalah dinamika yang wajar. Oleh karena “ruang makna sastra” yang terbuka memang menuntut para praktisi dan kritikus sastra untuk mengisinya dari sisi manapun, termasuk ideologi dan kepentingannya.
Oleh karena itu, apa yang dikatakan Ahmadun Yosi Herfanda bahwa untuk “Mengembalikan Sastra ke Kekuatan Teks” yang menganggap bahwa kemandegan capaian estetika sastra Indonesia salah satunya disebabkan meningkatnya kegiatan “politik sastra non-teks” atau politik sastra yang tidak mengandalkan kekuatan teks. Politik sastra tidak lagi dimaknai sebagai “strategi pemasyarakatan karya (teks) sastra” tapi lebih sebagai “strategi pemasyarakatan diri atau kelompok” tanpa mempertimbangkan kekuatan karya, menurut saya adalah hal yang cenderung degradatif dan imposible karena; pertama, jika “kekuatan teks” dimaknai sebagai “otonomi teks” maka ini sama seperti kita berpikir positivistik yang anti-humanis dan cenderung nomothetik, sastra dilihat hanya pada satu sisi, yaitu “teks” saja dengan mengabaikan dinamika eksternal yang melahirkan karya sastra. Kedua, bahwa kekuatan sastra itu terletak pada harmonisasi antara kekuatan “teks” dan “non-teks”, dan menurut saya “politik sastra non-teks” saat ini masih tetap berangkat dari “teks sastra” sebagai fenomena, misalnya fenomena sastra kelamin. Jadi “kekuatan teks” sastra haruslah dilihat tidak hanya “teks” sebagai karya, tetapi juga sebagai “fenomena”.
Sehingga apapun “kepentingannya” selama apresiasi masih berangkat dari sastra, baik sebagai teks atau fenomena maka itu adalah hal yang wajar, karena sastra adalah fenomena yang dikodifikasi lewat bahasa yang terbuka untuk beragam interpretasinya karena pertama, bahasa pada dasarnya bersifat terbatas sehingga tidak bisa merepresentasikan seluruh pengalaman manusia; kedua, “pengalaman atau mungkin kepentingan” dalam setiap penafsir pasti tidak sama. Hal ini wajar juga bila dilihat bahwa hakikatnya “tidak ada yang bebas nilai” dalam setiap argumen dan perilaku manusia.
Persoalaannya kemudian; bagaimana reaksi yang tepat atas polemik sastra kelamin ini? Kita tanggapi saja secara positif karena ini adalah dinamika yang memang diciptakan dunia sastra dalam semangatnya yang multikultural. Dengan semangat multikulturalisme semua pro-kontra adalah natural. Selanjutnya, proses naturalisasi akan terjadi dalam “seleksi sosial dunia sastra”. Siapa yang akan dimenangkan adalah persoalan apresiasi “siapa yang benar-benar dianggap mewakili semangat zamannya” dan ini pun akan selalu bergerak dalam rangkaian diakronis sastra. Dalam hal ini yang perlu dijaga adalah “semangat” menghargai pluralisme bersastra karena semangat ini pada hakikatnya tertanam dalam paradigma filosofi karya sastra yang merepresentasikan makna yang implisit-emotif-konotasi sebagai gerakan antipositivistik yang ideologik dan humanis.

Dimuat pada Harian Lampung Post, Minggu 24 Februari 2008

Otoritas Teks dalam Sastra Sufi

Heru Kurniawan


Adagium bahwa “sastra sufi” haruslah ditulis oleh “seorang yang sufi” membuat sastra sufi kehilangan identitas kesastraannya. Pandangan ini tidak salah, tetapi dalam terminologi ilmu sastra menjadi bermasalah, karena pengertian sastra telah direduksi dan dikebiri oleh pribadi (pengarang). Sastra sebagai seni yang merepresentasikan kode-kode bahasa menjadi kehilangan maknanya karena direbut oleh pribadi pengarang. Pengarang menjadi acuan tunggal untuk memaknai teks sehingga kesufian sastra pun dinilai dari kesufian pengarangnya. Akhirnya, pembacaan teks dibayang-bayangi oleh praanggapan tentang pribadi pengarang. Perspektif ini dalam terminologi sastra disebut dengan tradisi romantik yang dalam perkembangan ilmu sastra sekarang dianggap sudah usang.
Persoalannya, romantisme sastra sufi yang usang ini sering menjadi dasar penilian (kritik), apalagi ketika sastra dikaitkan dengan etika-agama. Lihat misalnya stereotype masyarakat, yang tidak akan menerima “sastra sufi” bila karya itu ditulis oleh orang-orang yang perilakunya tidak agamis (sufi), sementara bila dilihat karyanya sangat kental dengan unsur penyatuan dengan Tuhannya.
Dalam hal ini, menurut saya, orang yang berperilaku tidak agamis (sufi) bukan berarti tidak berpengetahuan agamis (sufi). Ini yang harus dibedakan bahwa antara perilaku dan pengetahuan dua hal yang berbeda. Dan sastra hakikatnya adalah representasi pengetahuan yang sublim ataupun sadar dalam memandang kehidupan. Jadi, sastra tidak selamanya sejalan dengan perilaku dan pribadi penciptanya, bahkan ada suatu anasir bahwa sastra adalah penyuguhan suatu realita dengan cara intransitif dan cenderung destruktif. Hal ini harus disadari sebagai paradigma agar kita tidak terjebak pada pemaknaan yang salah saat menilai teks sastra, terutama sastra sufi. Oleh karenanya, penilaian kesifan suatu sastra harus mulai diletakan pada “otoritas teks” yang menghasilkan kode-kode, bukan pada pribadi yang berperilaku karena teks menurut saya adalah “media pertama” untuk membaca fenomena. Dengan teks komunikasi secara alamiah terjalin, yaitu antara pembaca dengan kode-kode bahasa.
Kritik tajam terhadap pribadi (pengarang) sebagai kiblat-pemilik makna dalam karya sastra dilontarkan oleh Roland Barthes dalam artikelnya Death of the Author. Menurut Roland Barthes bahwa sekarang sudah saatnya kita harus mengembalikan posisi teks “otoritas teks” untuk masa depan, kita harus membalik mitos bahwa kelahiran pembaca harus diimbangi oleh kematian pengarang. Teks dalam pemahaman Barthes adalah kode-kode linguistik yang menghancurkan pengarang sehingga teks hakikatnya adalah suatu “ruang kosong” yang berfungsi sempurna dengan tanpa harus diisi oleh pribadi penulisnya.
Oleh karena itu, sungguh suatu kenaifan bila memaknai kesufian suatu karya sastra harus dengan parameter pribadi dan perilaku pengarangnya. Karena hal demikian berarti kita lebih berpihak pada “siapa yang mengatakan” daripada “apa yang dikatakan”. Padahal Islam sendiri memerintahkan dalam Hadis, “Jangan lihat ‘siapa yang mengatakan’, tapi lihatlah ‘apa yang dikatakan’” atau dalam metafora sehari-hari kita sering mendengar, “sekalipun keluar dari dubur “ayam” tetapi jika “telur” ambilah!; sekalipun keluar dari dubur “manusia” tetapi karena itu “kotoran” maka jauhilah.” Artinya, Islam sendiri sudah menekankan konsep keilmuan bahwa “yang dikatakan” lebih penting dari “yang mengatakan”; “telur dan kotoran” lebih penting dari ”ayam dan manusia”; ini berarti “teks” lebih penting dari “pengarang”.
Itulah kenapa otoritas teks menjadi penting karena dengan otoritas teks makna menjadi universal, di mana proses pemaknaan menjadi alamiah –-tanpa praanggapan, yang dalam istilah fenomenologi-nya Husserl disebut awal muncunya ilimu— antara pembaca dengan kode-kode bahasa. Makna yang muncul dari pemaknaan itu adalah hasil yang mengagumkan karena “kode bahasa” dan “pembaca” saling berbicara dengan caranya sendiri tanpa dipengaruhi oleh pengarang. Teks menjadi bebas menyuarakan kode-kode kesastraannya, sedangkan pembaca memaknai berdasarkan horison pengetehuan sastranya.

Konteks Sastra Sufi Indonesia
Dalam konteks sastra Indonesia, jika “sastra sufi” haruslah ditulis oleh “orang yang sufi”, maka saya memastikan bahwa dalam kesuastraan Indonesia tidak akan ada genre “sastra sufi” karena kita jadi bertanya, “Apakah ada sastrawan Indonesia yang sufi? Apa batasan seseorang dinilai kesufiannya jika agama Islam di Indonesia beragam aliran, bahkan tentang “sufi” saja menjadi perdebatan keberadaannya dalam Islam karena ada aliran yang menolak faham sufi dalam Islam.” Ini jelas persoalan yang tidak dapat terpecahkan jika paradigma pemaknaan “sastra sufi” menjadi milik “pribadi yang sufi.”
Oleh karena itu, pemaknaan sastra sufi Indonesia menurut saya harus diletakan pada dua paradigma dasar. Pertama, kesufian sebagai parameter sastra harus diletakan pada koridor keilmuan. Artinya, sufi adalah konsep (tasawuf) yang sudah menjadi ilmu, bukan kepercayaan sehingga munculnya “sastra sufi” tidaklah sama dengan aliran-aliran dalam Islam yang beragam. Di sisi lain, kesufian dalam sastra juga untuk mengganti istilah yang bermasalah, yaitu “sastra islami” karena batasan sastra islami kabur dan tidak jelas; misalnya apakah sastra islami harus ditulis orang Islam, apakah harus ada ajaran-ajaran Islam –-terus ajaran Islam menurut aliran apa? karena dalam Islam sendiri ada berbagai aliran-- Akan tetapi, dengan sastra sufi semua menjadi jelas karena sufi (tasawuf) adalah ilmu –-terminologi esoteris Islam di mana Annimarie Schimel menyebutnya mistik Islam—yang mengetengahkan perjalanan aku-lirik dalam melakukan hubungan yang mesra, bahkan ingin menyatukan diri dengan Tuhan. Dengan diletakan sufi –-sufisme atau sufistik—sebagai ilmu, maka istilah sufi dalam sastra sufi bersifat universal sebagaimana ilmu, tidak tersekat oleh kelompok-kelompok sekterian tertentu.
Kedua, pemaknaan sastra sufi Indonesia modern harus diletakan pada “otoritas teks” atau dalam bahas Paul Ricoeur disebut “otonomi semantik teks,” yaitu suatu paradigma memaknai dan menilai kesufian sastra dengan berdasarkan pada kode-kode yang terepresentasikan dalam teks, bukan pada pribadi-pengarangnya. Dengan peletakan dasar ini maka perkembangan sastra sufi di indonesia dapat diungkap dan dtelusuri mulai dari periode pra-Indonesia modern (sastra Nusantara) yang menurut Abdul Hadi WM dimotori oleh Hamzah Fansuri sampai ke sastra Indonesia modern dari periode Balai Pustaka sampai sekarang.
Menurut saya dengan menempatkan dua paradigma ini maka, maka penelitian terhadap sastra sufi Indonesia dapat dilakukan secara komprehensif karena ketiadaan pengarang sebagai pribadi menjadi tidak penting, yang terpenting adalah memaknai teks berdasarkan pada konteks yang membangunnya sehingga kontekstualisasi bisa dilakukan. Kontekstualisasi sastra sufi ini dapat dilakukan karena konteks saat teks diciptakan dapat direkonstruksi ulang berdasarkan pada data-data sejarah sosial masyarakat dan sastra yang ada.
Akhirnya saya berharap, dengan paradigma ini, kajian, kritik, dan penelitian terhadap sastra sufi Indonesia bisa terus dikembangkan, terutama pada karya sastra periode tahun 1980-an sampai sekarang, yang menurut saya masih sangat minim apresiasi. Semoga!

Dimuat di Jawa Pos, Minggu 12 Januari 2008.

Tentang Taman Budaya Banyumas

Heru Kurniawan



Keinginan para praktisi budaya Banyumas untuk memiliki Taman Budaya Banyumas (TBB) yang representatif telah lama bergulir. Akan tetapi, wacana tersebut sampai saat ini belum tersentuh oleh kebijakan dan tindakan praktis birokrasi. Sehingga sampai sekarang --Banyumas sebagai daerah yang kaya dengan nilai seni-kultural— belum memiliki ruang publik yang mampu mengakomodasi dan mewadahi berbagai aktivitas dan kreativitas berkesenian.
Oleh karena itu, Minggu, 21 Oktober 2007 atas prakarsa Dharmadi (penyair Banyumas) diadakanlah diskusi kecil yang dihadiri para praktisi seni Banyumas dari berbagai komunitas, antara lain Dharmadi, Mas’ut, Saeran, Bambang Badoro, Sigit Emwe, Arif Hidayat, Surtini Hadi, Restu Kurniawan, saya, dll. Dalam diskusi ini, impian untuk memiliki TBB dibicarakan, bahkan mendapat titik perhatian yang serius dari berbagai persoalan seputar iklim berkesenian di Banyumas. Sampai akhirnya sepakatlah kami untuk mengaktualisasikan impian ini dengan membentuk Solidaritas Peduli Budaya Banyumas (soliyamas) sebagai wadah gerakan yang secara umum akan berusaha memajukan budaya Banyumas, dan dalam waktu dekat ini gerakannya difokuskan untuk memperjuangkan berdirinya TBB. Pertemuan dua kali dalam sebulan pun akan dilakukan sebagai usaha untuk mensinergikan gerakan ini.
Dua faktor kenapa saat ini menjadi momentum tepat dalam memperjuangkan berdirinya TBB. Pertama, masa ini Banyumas sedang ramai menyambut pesta demokrasi (pilkada). Kami berharap pemimpin yang akan terpilih nantinya memiliki visi-misi dalam memajukan kebudayaan Banyumas, salah satunya komitmen untuk membangun TBB jika nanti terpilih. Sehubungan dengan ini, langkah yang akan ditempuh adalah mencoba untuk mengadakan diskusi atau seminar dengan para calon bupati untuk mendengarkan visi-misi mereka yang menyangkut pengembangan budaya di Banyumas. Dihadirkannya keseluruhan para calon bupati ini menunjukkan sikap netral dari soliyamas. Sudah digariskan di awal bahwa soliyamas adalah gerakan kultural yang netral dari dunia politik. Soliyamas tidak akan memihak pada salah satu calon bupati. Hak memilih adalah persoalan nurani, maka setiap individu bebas memilih siapa yang dianggap layak jadi pemimpin. Yang ditekankan dari soliyamas adalah rasa dan tindakan untuk memajukan budaya Banyumas, terutama dalam mewjudkan TBB.
Kedua, harus diakui bahwa sampai saat ini kegiatan berkesenian di Banyumas terpecah, hidup sendiri-sendiri. Teater kampus hanya hidup di kampus-kampus, jarang sekali menyentuh masyarakat luas; dunia sastra juga hidup dengan iklim yang sama, tumbuh dan berkembang dalam lingkupnya sendiri, yaitu di komunitas-komunitas tertentu yang lebih banyak didominasi orang-orang kampus; begitu juga dengan nasib kesenian-kesenian rakyat, misalnya lengger dan kentongan –-yang sekarang lagi digandrungi masyarakat— Kesenian rakyat ini berkembang dari satu tempat pariwisata ke tempat pariwisata lain ataupun kalau terjadi parade itu hanya karena ikatan lomba. Jarang sekali terjadi performance art yang dilakukan kesenian ini yang dapat diakses oleh masyarakat luas, sehingga komunitas-komunitas kesenian rakyat ini bisa hidup dan dikenal masyarakat. Problem yang menyebabkan keterpecahan ini karena Banyumas belum mempunyai prasarana yang representatif, yaitu taman budaya sebagai ruang public performance yang dapat digunakan untuk pertunjukan oleh berbagai bidang seni. Kalaupun sekarang ada Gedung Sutedja, namun harus diakui bahwa gedung ini tidak cukup representatif untuk berbagai acara. Misalnya, kapasitas luas gedung yang terbatas dan kalau digunakan untuk pameran seni lukis kurang representatif karena tata ruangnya.
Oleh karenanya kehadiran TBB menjadi penting karena TBB dapat dimaknai keberadaannya sebagai sarana untuk memajukan dan menyatukan kebudayaan Banyumas, di mana segala aktivitas dan kreativitas akan dipusatkan di sini. Efeknya, contact cultural akan terjadi sehingga kehidupan berkesenian tidak lagi bersifat sektarian. Kehidupan kesenian yang multikultural bisa terwujud karena antarpraktisi seni bisa saling belajar lewat performance art atau diskusi yang bisa saja diagendakan secara rutin di TBB ini.
Di sisi lain, arah pembangunan dan pengembangan TBB bila bercermin pada Taman Budaya Yogyakarta, misalnya, dapat dikembangkan menjadi pusat kebudayaan, di mana pembangunan taman bacaan, wisata kuliner, pasar seni, bahkan Banyumas yang sekarang memiliki Sekolah Menengah Kesenian bisa dipindah di TBB. Sehingga TBB dapat dijadikan cultural center-nya Banyumas. Betapa indah! Inilah yang membuat saya merasa soliyamas merupakan tempat perjuangannya para pemimpi yang mendambakan kemajuan budaya Banyumas. Akan tetapi, kalau tidak dimulai dari mimpi, dari momen apa lagi kita punya semangat untuk memajukan kepentingan budaya Banyumas.

Arah Gerakan: Opini-Konseptual
Arah gerakan soliyamas dalam hemat saya haruslah berpegang pada dua dasar, yaitu opini publik dan konseptualisasi teknis-politis. Opini publik tentang impian ini haruslah terus dihembuskan. Tujuannya agar masyarakat tahu sehingga aspirasi ini menjadi kuat karena dilegitimasi oleh keinginan masyarakat. Apalagi persoalan budaya merupakan identitas suatu daerah, apabila suatu daerah luntur dan tidak terpelihara nilai budayanya, maka generasi mendatang dapat saja menjadi generasi yang missing historis-cultural, menjadi terasing di daerahnya sendiri.
Selanjutnya, gerakan opini publik ini harus diikuti gerakan konseptual teknis-politis yang jelas. Artinya, bila opini publik telah berhasil maka yang harus dilakukan soliyamas adalah teknisisasi praktis dengan diskusi, lobi, atau mungkin pengajuan proposal ke birokrasi yang mempunyai otoritas dalam mewujudkan TBB. Di sini terlihat, impian tentang TBB tidak hanya persoalan kultural. Strategi politik untuk masuk dan meyakinkan birokrasi jelas berperan penting karena kekuatan massa yang banyak di zaman yang tidak tentu seperti ini terkadang tidak berarti. Inilah yang menjadi tugas berat dari soliyamas yang tentunya membutuhkan tindakan teknis-politis yang tepat.
Saya berharap semoga perjuangan soliyamas untuk mewujudkan TBB dapat berhasil sehingga mimpi untuk mewujudkan TBB sebagai cultural center-Banyumas bisa terwujud. Semoga.

Dimuat di Kedaulatan Rakyat, Minggu Nopember 2007.

Aku Maknai Laut-Mu, Abdul Hadi WM

Heru Kurniawan


Yang menarik dari perpuisian Abdul Hadi WM dari tahun 1967 - 1983 adalah banyaknya imaji dan suasana laut, seperti angin, pantai, gelombang, nelayan, buih, laut, jangkar, perahu, dan matahari yang menjadi latar. Bahkan dari buku-buku puisinya, laut menjadi identitas judulnya, antara lain Laut Belum Pasang (1967), Tergantung pada Angin, Anak Angin Anak Laut, Potret Pengunjung Pantai Sanur. Ini menandakan bahwa imaji dan suasana laut mendapat tempat khusus dalam puisi-puisi Abdul Hadi WM. Sehingga Imaji laut dalam puisi-puisi Abdul Hadi WM merepresentasikan pandangan dunia (world view)-nya, yaitu perasaan-perasaaan, ideologi, dan sudut pandang penyair terhadap kehidupan yang dijalaninya.
Interpretasi terhadap suasana dan imaji laut dalam puisi Abdul Hadi WM berarti mengungkap dan meretas pandangan dunianya. Dalam hal ini Ricouer mengatakan bahwa penyair adalah individu yang bebas sehingga ujaran penyair dibebaskan dari visi dunia karena penyair membuat dirinya sendiri bebas untuk ada, dan baru kemudian dia bawa visi dunianya ke pengalaman ekspresif bahasa. Dengan demikian, estetisme bahasa puisi merepresentasikan pemikiran penyairnya. Lewat bentukan-bentukan imaji yang khas, puisi mengekspresikan pengalaman dan pandangan dunia yang berbeda antara yang satu penyair dengan yang lain.
Saya memberi contoh, misalnya pada perpuisian Abdul Hadi WM dengan D. Zawawi Imron yang kuat memberdayakan imaji laut dalam puisi-puisinya. Secara tradisi, keduanya mempunyai kesamaan yang menyangkut kultur Madura, letak geografis, dan pemahaman pada Islam yang kuat. Akan tetapi, sentuhan filosofi, pandangan dunia, dan pengalaman yang berbeda menjadikan imaji laut yang dihadirkan mempunyai rasa dan makna berbeda. Dalam puisi D. Zawawi Imron laut adalah kehidupan yang selalu dikaji, digeluti, dan ditaklukan. Sedangkan dalam puisi-puisi Abdul Hadi WM, laut adalah suasana untuk dinikmati dan renungi secara terbuka.
Di sini terlihat bahwa kepribadian makna bahasa merupakan cermin dari pengalaman penyairnya dalam memersepsi realitas. Inilah yang menyebabkan puisi sebagai wacana selalu bercerita dengan cara yang unik dan khas sesuai dengan style dan ideologi penyairnya. Dan laut bagi Abdul Hadi WM adalah fenomena yang telah dipersepsi sebagai sarana untuk melukiskan pengalamannya. Laut dipilih, diolah, dipadukan, dan disentuh dengan ekspresivitasnya sehingga imaji laut mampu menyuarakan kegelisahan dan pengalaman hidupnya. Laut hidup menyuarakan filosofisnya.

Laut sebagai Medan Perjuangan
Dalam perspuisian Abdul Hadi WM, imaji laut dipandang sebagai arena bagi seseorang (nelayan) dalam bergelut dengan dunia sekaligus akhirat. Laut merupakan medan negosiasi antara makrokosmos dan mikrokosmos, di mana kehidupan ideal terjadi dari pertautan antara keduanya yang mesra. Model ini selaras dengan ajaran dasar agama tentang harmonisasi antara dunia-akhirat. Dalam terminologi Islam dikatakan bahwa, “Bekerjalah seakan-akan engkau akan hidup selamanya dan beribadahlah seakan-akan engkau akan mati besok”. Artinya, kerja keras (ikhtiar) untuk dunia dan sungguh-sungguh (khusyu) untuk akhirat. Kedua hal ini terkonseptualisasikan dalam analogi perjuangan nelayan yang bekerja keras untuk menyatukan dua dimensi; kerja keras dan khusyu, dunia dan akhirat, materi dan spiritual, perilaku dan jiwa, lahir dan bathin. Konsep ini terbaca dalam nukilan sajak berikut ini.
Prelude
III
Dua nelayan Madura terjun ke sampannya
Angin tak menyuruh mereka, dingin yang baja
Seperti kata nenek moyangnya, mereka lepaskan mantera
Seperti kata nenek moyangnya, engkau hanya menawarkan angin utara

Terjun ke sampan adalah usaha (dunia), sedangkan lepaskan mantera (spiritual). Dan kesadaran terhadap dua dimensi itu dianggapnya sebagai naluri dasar yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyangnya. Dengan demikian, manusia dipersepsi sebagai homo religius yang mendapatkan pengalaman spiritualnya sejak dilahirkan dan kemudian dikokohkan lewat sesuatu yang diajarkan alam atau nenek moyangnya. Dalam hal ini, Karen Amstrong dalam “History of God” mengatakan bahwa manusia adalah mahluk yang sejak diciptakan telah membawa keyakinan terhadap yang sakral (Tuhan) yang tidak bisa dingkari dan dinafikan. Adapun yang membawa manusia untuk mengkoseptualisasikan keyakinannya itu adalah keimanan yang lahir dan dibentuk dari ajaran-ajaran yang diyakini. Keimanan berarti hasil pembentukan dari diri dan lingkungan (nenek moyang) yang mengarahkannya.
Imaji laut dalam perpuisian Abdul Hadi WM menginsafi keadaan fitrah manusia, di mana nelayan sebagai prototype-nya menjadi gambaran universal dari keberadaan manusia. Laut telah mengungkapan makna filosofisnya yang indah, yaitu sebagai gambaran medan yang ideal dalam menyatukan dua dimensi yang dapat menyempunakan kehidupan manusia. Oleh karenanya Abdul Hadi WM dalam puisinya Malam Laut berbicara bahwa; /di pantai engkau mencari pasir penuh bulan//di pantai engkau mencari senja yang menyatu dengan dumi//. Artinya, pantai adalah berkah untuk bumi (dunia) dan kebahagian untuk kehidupan yang tinggi (bulan). Pantai akan mampu menyatukan senja dengan bumi (dunia dan akhirat). Sungguh indah.

Laut dalam Spiritualitas dan Simbol
Laut yang dipersepsi sebagai model yang mampu menyatukan bumi dan langit menandakan bahwa laut mempunyai spiritualitas, yaitu ruh istimewa yang mencerahkan kehidupan. Laut dioptimalisasi oleh penyairnya menjadi dimensi yang agung. Tentu satu-satunya kekuatan agung yang mampu menyatukan dua dimensi kehidupan dunia-akhirat adalah penciptanya: Tuhan. Laut adalah aktualisasi Tuhan yang telah melahirkan pantai, ombak, angin, nelayan, dan buih sebagai isyarat yang penanda kebesarannya.
Dalam tradisi Islam, aktualisasi Tuhan lewat laut telah diungkapkan dalam Hadis dan al-Qur’an. Misalnya, (1) tentang permisalan kebesaran Tuhan-mu itu seperti lautan, sedangkan apa yang kau miliki hanya sebatas buih; (2) pengetahuan yang dimiliki Tuhan-mu itu seperti lautan, maka kau tidak akan habis menimbanya. Yang tersirat dari dua hal ini adalah mengenai kebesaran Tuhan yang Maha Tidak Terbatas, sedangkan manusia terbatas. Tradisi aktualisasi Tuhan lewat laut kemudian banyak dibicarakan dalam aliran tasawuf yang intens menggarap seni (puisi) sebagai media untuk “pertemuan suci” antara hamba dengan Tuhannya. Lewat tradisi tasawuf ini pemaknaan laut sebagai aktualisasi Tuhan hidup dan terus berkembang sampai saat ini. Dan apa yang disuarakan Abdul Hadi WM menurut saya adalah penerusan dari tradisi ini, laut adalah aktualisasi dari kebesaran Tuhan. Maka laut yang telah menciptakan kehidupan menjadi ayat yang tepat untuk menjalani kehidupan yang ideal, yaitu harmonisasi dunia-akhirat.
Menurut Doni Koesoema (2007) dalam tradisi Yahudi, laut adalah metafor alam yang dianggap selaras dengan karakter, yaitu sesuatu yang bebas lepas dan tidak bisa dikuasai oleh manusia, misalnya ganasnya gelombang dan angin yang menyertainya. Tradisi Yahudi memahami lautan sebagai karakter yang tidak terselami dan tidak dapat dirintervensi manusia. Oleh karena itu, berhadapan dengan laut yang berkarakter manusia tidak dapat ikut campur tangan. Manusia tidak dapat memberi bentuk atasnya karena manusia terbatas, sedang laut tidak terbatas. Oleh karena itu, tradisi Yahudi Klasik ini mengindikasikan laut sebagai permisalan Tuhan yang mutlak dan Maha.
Tentang kemutlakan dan kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas ini Abdul Hadi WM mengisyaratkannya dalam puisi Laut Luas://Kau memandang ke laut luas, kehijauan yang lenyap dalam/ gelombang//Jendela yang membawa kita dan langit setengah mengambang/mungkin di alun itu seseorang meletakan pandangan/dan kosong kita mencarinya karena dinding tak mau karam. Laut luas sebagai suasana dalam puisi ini mengindikasikan laut sebagai media pertemuan antara hamba dan Tuhannya yang selalu tersekat karena ada dinding yang tak mau karam.
Dengan demikian, melihat makna laut yang berangkat dari mitos dan agama yang tidak berkorelasi dengan laut sebagai semantik, maka laut dalam puisi-puisi Abdul Hadi WM dalam perspektif hermeneutika dapat disebut sebagai simbol. Simbol menurut Ricouer adalah sistem ujaran (bahasa) yang mengabungkan dua dimensi atau dua semesta wacana, yaitu satu tatanan lingusitik dan tatanan nonlinguistik. Simbol linguistik dibuktikan oleh fakta bahwa simbol dibangun oleh semantik simbol, yaitu teori yang menjelaskan struktur simbol berdasarkan makna signifikansi. Dimensi nonlingusitik hanya bisa dijelaskan oleh lingusitik yang mungkin berasal dari mitos, tradisi, ataupun agama. Di sini terlihat, bahwa laut sebagai simbol mempunyai persoalan yang kompleks.
Pada tataran semantik dapat dimaknai bahwa laut adalah cekungan luas dari bumi yang berisi air. Makna semantik ini tidak dapat menjawab persoalan simbol laut yang dalam puisi-puisi Abdul Hadi WM bermakna aktualisasi Tuhan karena tidak ada hubungan yang sinkron antara “cekungan luas dari bumi yang berisi air” dengan “Tuhan”. Oleh karenanya, makna simbol laut kemudian mengarah ke dimensi nonsemnatiknya, yaitu mitos, tradisi, dan kultur. Dalam hal ini, mengacu pada tradisi Islam dan Yahudi, laut sebagai simbol baru teridentifikasikan maknanya. Dan menurut saya, simbolisasi laut sebagai aktualisasi Tuhan adalah pemberdayaan aspek estetis yang indah karena Tuhan sendiri hakikatnya simbol yang mewujud dalam seluruh dimensi kehidupan yang berserak di alam semesta. Amstrong mengatakan bahwa Tuhan bukanlah sebuah realitas, Tuhan adalah inti realitas. Oleh karena itu, yang membangun hakikat setiap elemen kehidupan adalah Tuhan, termasuk laut di dalamnya seperti yang dipuisikan Abdul Hadi WM.
Akan tetapi, cara penghayatan Abdul Hadi WM yang intens dan langsung bersentuhan dengan laut (menelaah kultur kehidupan Maduranya) menjadikan simbol laut sebagai aktualisasi Tuhan memiliki cara pandang yang khas, yaitu sebagai pelaku Abdul Hadi WM dalam puisi-puisinya tidak menggurui dan tidak memaksakan orang (pembaca) untuk masuk dalam dunia puisinya. Laut yang dikonseptualisasikan adalah suasana yang perlu dirasakan dan dimaknai. Maka pengungkapan makna filosofinya tidaklah memaksa dan mendoktrin. Cukup nikmati saja puisinya nanti kita akan menemukan ruang kosong yang terbuka, kita mau mengisinya atau tidak terserah. Tapi kita pasti merasakan suasananya bahwa Tuhan seakan-akan hadir di dalamnya.